PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2023 TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan Pasal 8 ayat (4), Pasal 10 ayat (4), Pasal 13 ayat (3), Pasal 14 ayat (4), Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), Pasal 20 ayat (5), Pasal 27 ayat (8), Pasal 40 ayat (6), Pasal 41 ayat (4), Pasal 69 ayat (2), Pasal 85 ayat (2), dan Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, dan Pasal 83 ayat (6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, untuk memperkuat kapasitas industri perasuransian, serta guna menyesuaikan pengaturan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah dengan perkembangan industri perasuransian di Indonesia perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6845);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6845);
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6845);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2018 tentang Kepemilikan Asing pada Perusahaan Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6200) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6456);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN REASURANSI SYARIAH.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
2. Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan cara:
a. memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
4. Usaha Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, konsultasi dan keperantaraan asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau penilaian kerugian asuransi syariah.5. Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
6. Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
7. Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya.
8. Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
9. Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau pembayaran lain kepada peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
10. Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah atas risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya.
11. Perusahaan adalah perusahaan asuransi umum, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, perusahaan asuransi umum syariah, perusahaan asuransi jiwa syariah, dan perusahaan reasuransi syariah.
12. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum.
13. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa.
14. Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Jiwa.
15. Perusahaan Asuransi Umum Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum Syariah.
16. Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah.
17. Perusahaan Asuransi Syariah adalah Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah.
18. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Reasuransi.
19. Perusahaan Reasuransi Syariah adalah perusahaan yang menyelenggarakan Usaha Reasuransi Syariah.
20. Unit Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor di luar kantor pusat yang menjalankan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
21. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum.
22. Dana Jaminan adalah kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah dilikuidasi.
23. Modal Disetor adalah modal disetor bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas, atau simpanan pokok dan simpanan wajib bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi.
24. Ekuitas adalah ekuitas berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia.
25. Kelompok Usaha Perusahaan yang selanjutnya disebut KUPA adalah Perusahaan yang berada dalam satu kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau Pengendalian yang terdiri dari 2 (dua) Perusahaan atau lebih.
26. Perusahaan Induk adalah badan hukum yang mengonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas KUPA.
27. Direksi adalah organ Perusahaan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perusahaan untuk kepentingan Perusahaan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perusahaan serta mewakili Perusahaan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas, atau yang setara dengan Direksi bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi atau usaha bersama.
28. Dewan Komisaris adalah organ Perusahaan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas, atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi atau usaha bersama.
29. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah organ Perusahaan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas dan/atau anggaran dasar bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas, atau yang setara dengan RUPS bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum koperasi atau usaha bersama.
30. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk memengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan Perusahaan dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung.
31. Pengendali adalah Pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk memengaruhi tindakan dan/atau menentukan Direksi, Dewan Komisaris, atau yang setara dengan Direksi atau Dewan Komisaris.
32. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah Pihak yang memiliki secara langsung saham atau modal Perusahaan sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara, atau Pihak yang memiliki secara langsung saham atau modal Perusahaan kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan Pengendalian.
33. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah dewan yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan serta memberikan nasihat kepada Direksi terkait penyelenggaraan kegiatan Perusahaan agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
34. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan dan/atau operasional Perusahaan.
35. Lembaga Sertifikasi Profesi yang selanjutnya disingkat LSP adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan sertifikasi profesi yang telah memenuhi syarat dan memperoleh lisensi dari badan atau lembaga yang diberikan wewenang untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
36. Tenaga Ahli adalah orang perseorangan yang memiliki kualifikasi dan/ atau keahlian tertentu yang ditunjuk dan bekerja secara penuh sebagai Tenaga Ahli pada satu Perusahaan tempatnya bekerja.
37. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk Asuransi atau produk Asuransi Syariah.
38. Asosiasi adalah asosiasi dari Perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kegiatan atau jenis usaha dari masing-masing Perusahaan.
39. Badan Hukum Asing adalah badan yang tercatat atau terdaftar pada otoritas negara lain sebagai suatu badan hukum.
40. Kepemilikan Asing adalah kepemilikan warga negara asing dan/atau Badan Hukum Asing pada Perusahaan.
41. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) Perusahaan atau lebih yang bidang usahanya sejenis untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan 1 (satu) Perusahaan baru yang karena hukum memperoleh aset, liabilitas, dan Ekuitas dari Perusahaan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perusahaan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
42. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) Perusahaan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perusahaan lain yang telah ada dan bidang usahanya sejenis yang mengakibatkan aset, liabilitas, dan Ekuitas dari Perusahaan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perusahaan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perusahaan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
43. Pemisahan Unit Syariah adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi untuk memisahkan Unit Syariah yang mengakibatkan sebagian aset, liabilitas, dan Ekuitas Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi beralih karena hukum kepada Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah.
44. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perusahaan yang mengakibatkan beralihnya Pengendalian.
45. Kelompok Perusahaan Perasuransian berdasarkan Ekuitas yang selanjutnya disebut KPPE adalah pengelompokan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Rereasuransi yang didasarkan pada Ekuitas yang dimiliki.
46. Aktuaris Perusahaan adalah orang perseorangan yang telah memperoleh sertifikasi dari asosiasi yang membawahkan bidang aktuaris, yang ditunjuk dan bekerja secara penuh sebagai aktuaris pada Perusahaan tempatnya bekerja.
BAB II
BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN, NAMA PERUSAHAAN, PERMODALAN DAN DANA JAMINAN
Bagian Kesatu
Bentuk Badan Hukum
Pasal 2
Bentuk badan hukum Perusahaan terdiri atas:
a. perseroan terbatas;
b. koperasi; atau
c. usaha bersama yang telah ada pada saat Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian diundangkan.
Bagian Kedua
Kepemilikan
Pasal 3
(1) Perusahaan hanya dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia; atau
b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a, bersama-sama dengan warga negara asing atau Badan Hukum Asing yang harus merupakan Perusahaan yang memiliki usaha sejenis atau perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang Usaha Perasuransian yang sejenis.
(2) Kepemilikan Asing pada Perusahaan oleh warga negara asing atau Badan Hukum Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai kepemilikan asing pada perusahaan perasuransian dan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 4
(1) Kepemilikan Asing pada Perusahaan oleh warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan melalui transaksi di bursa efek.
(2) Kepemilikan Asing pada Perusahaan oleh Badan Hukum Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dilakukan melalui:
a. penyertaan langsung pada Perusahaan;
b. transaksi di bursa efek atas Perusahaan; dan/atau
c. penyertaan pada badan hukum Indonesia yang memiliki Perusahaan melalui:
1. penyertaan langsung; atau
2. transaksi di bursa efek.
Pasal 5
(1) Kepemilikan Asing pada Perusahaan oleh Badan Hukum Asing melalui penyertaan langsung pada Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) huruf a dan penyertaan langsung pada badan hukum Indonesia yang memiliki Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c angka 1, wajib memenuhi kriteria:
a. merupakan perusahaan yang memiliki usaha sejenis atau merupakan perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang Usaha Perasuransian yang sejenis;
b. memiliki ekuitas paling sedikit 5 (lima) kali dari jumlah penyertaan langsung pada Perusahaan pada saat pendirian dan pada saat perubahan kepemilikan Perusahaan; dan
c. memiliki rating paling rendah A atau yang setara dari lembaga pemeringkat yang diakui secara internasional.
(2) Bagi Badan Hukum Asing yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, persyaratan kriteria rating sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dipenuhi dengan rating dari salah satu anak perusahaannya yang bergerak di bidang Usaha Perasuransian yang sejenis.
(3) Kewajiban pemenuhan kriteria Badan Hukum Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Kepemilikan Asing melalui penyertaan langsung pada badan hukum Indonesia yang memiliki Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c angka 1 dengan persyaratan memiliki Pengendalian terhadap Perusahaan baik langsung maupun tidak langsung dengan persentase kepemilikan saham lebih besar atau sama dengan 25% (dua puluh lima persen).
(4) Kewajiban pemenuhan kriteria Badan Hukum Asing yang menjadi pemegang saham Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi kepemilikan saham Perusahaan oleh Badan Hukum Asing melalui:
a. transaksi di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b; dan
b. transaksi di bursa efek atas badan hukum Indonesia yang memiliki Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c angka 2.
Pasal 6
(1) Perusahaan wajib mengidentifikasi dan melaporkan:
a. Kepemilikan Asing pada Perusahaan oleh Badan Hukum Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);
b. Kepemilikan Asing pada Perusahaan oleh warga negara asing secara tidak langsung; dan
c. pemenuhan kriteria Badan Hukum Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penghitungan kepemilikan saham oleh Badan Hukum Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan:
a. secara langsung berdasarkan penghitungan persentase kumulatif kepemilikan saham oleh seluruh Badan Hukum Asing yang tercatat dalam daftar pemegang saham terakhir Perusahaan; dan
b. secara tidak langsung:
1. penghitungan Kepemilikan Asing dari pemegang saham Perusahaan yang berbentuk badan hukum Indonesia yang merupakan perseroan tertutup berdasarkan penghitungan persentase kumulatif kepemilikan saham oleh seluruh Badan Hukum Asing sampai dengan pemegang saham terakhir (ultimate shareholders); dan/atau
2. penghitungan Kepemilikan Asing dari pemegang saham Perusahaan yang berbentuk badan hukum Indonesia yang merupakan perseroan terbuka berdasarkan penghitungan persentase kumulatif kepemilikan saham oleh seluruh Badan Hukum Asing yang tercantum dalam struktur kepemilikan yang terdapat pada bursa efek sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Pasal 7
Perusahaan wajib melaporkan hasil identifikasi Kepemilikan Asing dan pemenuhan kriteria Badan Hukum Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6:
a. setiap bulan yang dilaporkan sebagai bagian dari laporan berkala Perusahaan sesuai dengan ketentuan mengenai bentuk dan susunan laporan berkala Perusahaan; dan
b. pada saat Perusahaan melakukan aksi korporasi yang menyebabkan perubahan kepemilikan.
Pasal 8
(1) Bagi pemegang saham Perusahaan yang berbentuk badan hukum Indonesia wajib memiliki Ekuitas paling sedikit 1 (satu) kali dari jumlah penyertaan langsung.
(2) Ketentuan jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pemegang saham Perusahaan yang merupakan lembaga jasa keuangan yang berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Bagi lembaga jasa keuangan yang berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, jumlah penyertaan langsung pada Perusahaan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai investasi dan/atau penyertaan.
(4) Jumlah penyertaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi pada saat badan hukum yang bersangkutan melakukan:
a. penyetoran modal pada saat pendirian Perusahaan;
b. penyertaan langsung sebagai pemegang saham baru Perusahaan setelah Perusahaan mendapatkan izin usaha; dan/atau
c. penambahan penyertaan pada Perusahaan yang berasal dari setoran tunai dan konversi/pengalihan pinjaman.
Pasal 9
(1) PSP yang berbentuk badan hukum harus memiliki dan menunjukkan kinerja keuangan yang baik paling sedikit 2 (dua) tahun sebelum melakukan penyertaan modal kepada Perusahaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi:
a. PSP merupakan badan hukum yang berdiri paling lama 2 (dua) tahun dan merupakan hasil aksi korporasi berupa Penggabungan, Peleburan, atau pemisahan termasuk Pemisahan Unit Syariah;
b. PSP merupakan badan hukum Indonesia yang didirikan dengan penyertaan modal dari pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah; dan/atau
c. PSP yang akan melakukan penyertaan modal kepada Perusahaan dalam rangka pemenuhan rencana tindak sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan lembaga jasa keuangan nonbank.
Pasal 10
(1) Sumber dana yang digunakan oleh pemegang saham untuk penyertaan dan/atau penambahan modal kepada Perusahaan dilarang berasal dari:
a. pinjaman; dan
b. kegiatan pencucian uang, pendanaan terorisme, pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal, dan kejahatan keuangan lain.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak berlaku dalam hal pemegang saham Perusahaan merupakan:
a. pemerintah pusat;
b. pemerintah daerah; dan/atau
c. badan hukum yang dikendalikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Bagian Ketiga
Nama Perusahaan
Pasal 11
(1) Perusahaan harus menggunakan nama Perusahaan yang dimulai dengan bentuk badan hukum dan memuat kata:
a. Asuransi, insurance, atau kata yang mencirikan kegiatan dari Perusahaan Asuransi;
b. reasuransi, reinsurance, atau kata yang mencirikan kegiatan dari Perusahaan Reasuransi;
c. Asuransi Syariah, sharia insurance, atau kata yang mencirikan kegiatan dari Perusahaan Asuransi Syariah; atau
d. reasuransi syariah, sharia reinsurance, atau kata yang mencirikan kegiatan dari Perusahaan Reasuransi Syariah.
(2) Penggunaan nama Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas.
(3) Penggunaan nama Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Perusahaan berbentuk badan hukum koperasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai koperasi dan pengesahan koperasi.
(4) Penggunaan nama Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam penyelenggaraan usaha wajib mengacu pada nama Perusahaan, bentuk badan hukum Perusahaan, dan kegiatan usaha yang tercantum dalam anggaran dasar Perusahaan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang.
(5) Nama Perusahaan wajib dicantumkan secara jelas pada gedung kantor, iklan, kop surat Perusahaan, dan/atau dokumen Perusahaan lainnya.
(6) Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan instruksi tertulis kepada Perusahaan untuk mengubah nama Perusahaan jika nama Perusahaan tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4).
(7) Perusahaan wajib memenuhi instruksi tertulis Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Bagian Keempat
Modal Disetor pada saat Pendirian
Pasal 12
(1) Perusahaan Asuransi harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
(2) Perusahaan Reasuransi harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah).
(3) Perusahaan Asuransi Syariah harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
(4) Perusahaan Reasuransi Syariah harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
(5) Modal Disetor pada saat pendirian harus disetor secara tunai dan penuh yang ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dan/atau rekening giro atas nama Perusahaan pada:
a. bank umum, bank umum syariah, dan/atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; atau
b. bank umum syariah dan/atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia bagi Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
Bagian Kelima
Dana Jaminan
Pasal 13
(1) Pada saat pengajuan izin usaha, Perusahaan harus memiliki Dana Jaminan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari Modal Disetor minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
(2) Bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi, Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditempatkan dalam bentuk:
a. deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum, bank umum syariah, atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia yang tidak terafiliasi dengan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan; dan/atau
b. surat berharga dan/atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia, yang memiliki sisa jangka waktu jatuh tempo paling singkat 1 (satu) tahun pada saat tanggal permohonan izin usaha.
(3) Bagi Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah, Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditempatkan dalam bentuk:
a. deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia yang tidak terafiliasi dengan Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah yang bersangkutan; dan/atau
b. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia, yang memiliki sisa jangka waktu jatuh tempo paling singkat 1 (satu) tahun pada saat tanggal permohonan izin usaha.
(4) Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha wajib menyesuaikan jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai perkembangan usaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan, dengan ketentuan tidak kurang dari yang dipersyaratkan pada awal pendirian.
(5) Dalam hal terdapat kelebihan Dana Jaminan, Perusahaan dapat mencairkan kelebihan Dana Jaminan.
(6) Dalam hal terdapat klaim yang jatuh tempo, Perusahaan wajib menggunakan kelebihan Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk pembayaran klaim yang jatuh tempo.
Bagian Keenam
Sanksi Administratif
Pasal 14
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), ayat (4), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (4), ayat (5), ayat (7), dan/atau Pasal 13 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(3) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Ketujuh
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 15
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB III
PERIZINAN USAHA
Bagian Kesatu
Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Izin Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
Pasal 16
(1) Setiap Pihak yang melakukan Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, atau Usaha Reasuransi wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus mengajukan permohonan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan bersama dengan:
a. daftar persyaratan dokumen permohonan izin usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi tercantum dalam Lampiran pada tabel I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
b. permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon pihak utama Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
(4) Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dan format permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
Bagian Kedua
Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Izin Usaha Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah
Paragraf 1
Umum
Pasal 17
(1) Setiap Pihak yang melakukan Usaha Asuransi Umum Syariah, Usaha Asuransi Jiwa Syariah, atau Usaha Reasuransi Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Izin usaha sebagai Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah dilakukan dengan cara mengajukan permohonan:
a. pendirian baru Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah;
b. konversi dari Perusahaan Asuransi menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau konversi dari Perusahaan Reasuransi menjadi Perusahaan Reasuransi Syariah; atau
c. Pemisahan Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi.
(3) Permohonan untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diajukan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Paragraf 2
Pendirian Baru Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah
Pasal 18
(1) Permohonan izin usaha pendirian baru Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a, disampaikan bersama dengan:
a. daftar persyaratan dokumen permohonan izin usaha pendirian baru Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah tercantum dalam Lampiran pada tabel II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
b. permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon pihak utama Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
(2) Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah dan format permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
Paragraf 3
Konversi dari Perusahaan Asuransi menjadi Perusahaan Asuransi Syariah dan Konversi dari Perusahaan Reasuransi menjadi Perusahaan Reasuransi Syariah
Pasal 19
Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah hasil konversi harus memiliki Ekuitas pada saat konversi paling sedikit sesuai Ekuitas minimum yang dipersyaratkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 20
(1) Konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat(2) huruf b wajib memenuhi ketentuan:
a. merupakan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang sehat dan tidak sedang dikenakan sanksi;
b. rencana konversi telah dicantumkan dalam rencana bisnis Perusahaan kecuali konversi terjadi atas instruksi tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan;
c. tidak mengurangi hak dari pemegang polis dan/atau tertanggung;
d. dilakukan dengan pemberitahuan kepada pemegang polis dan/atau tertanggung mengenai rencana konversi dan tata cara penyelesaian hak pemegang polis dan/atau tertanggung; dan
e. memindahkan portofolio pertanggungan kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi lain, membayarkan bagian premi, dan/atau membayarkan nilai tunai pertanggungan, bagi pemegang polis dan/atau tertanggung yang tidak bersedia menjadi pemegang polis dan/atau peserta dari Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah hasil konversi.
(2) Pemberitahuan kepada pemegang polis dan/atau tertanggung mengenai rencana konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi:
a. sebelum mengajukan permohonan izin usaha konversi kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. setelah diperoleh izin usaha konversi dari Otoritas Jasa Keuangan, sebelum pelaksanaan konversi.
(3) Pemberitahuan kepada pemegang polis dan/atau tertanggung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui:
a. media massa berbahasa Indonesia secara elektronik dan/atau cetak yang beredar secara nasional; dan
b. surat atau media komunikasi elektronik kepada setiap pemegang polis dan/atau tertanggung.
(4) Pemberitahuan sebelum Perusahaan melaksanakan konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yang dilakukan melalui media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah memperoleh izin usaha konversi dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 21
(1) Permohonan izin usaha konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b, harus diajukan oleh Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi kepada Otoritas Jasa Keuangan disampaikan bersama dengan:
a. daftar persyaratan dokumen permohonan izin usaha konversi dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi menjadi Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah tercantum dalam Lampiran pada tabel III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
b. permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon pihak utama Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah hasil konversi.
(2) Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah dan format permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
Pasal 22
Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi Syariah hasil konversi wajib melakukan penyelesaian pelaksanaan konversi dengan cara:
a. memindahkan portofolio pertanggungan kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi lain, membayarkan bagian premi, dan/atau membayarkan nilai tunai pertanggungan, bagi pemegang polis dan/atau tertanggung yang tidak bersedia menjadi pemegang polis dan/atau peserta dari Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah hasil konversi;
b. penyesuaian atau pengalihan pertanggungan Asuransi menjadi Asuransi Syariah dan reasuransi menjadi reasuransi syariah; dan
c. penyesuaian penempatan atau pengalihan seluruh instrumen investasi yang tidak sesuai dengan Prinsip Syariah menjadi instrumen investasi yang sesuai dengan Prinsip Syariah,
paling lambat 6 (enam) bulan sejak izin usaha konversi ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 23
(1) Perusahaan hasil konversi dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelaksanaan konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dengan menyampaikan alasan dan dokumen yang mengakibatkan penyelesaian tidak dapat dilakukan sesuai batas waktu yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Berdasarkan permintaan Perusahaan, Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan perpanjangan jangka waktu penyelesaian pelaksanaan konversi paling lama 6 (enam) bulan.
Bagian Ketiga
Persetujuan dan Penolakan Permohonan Izin Usaha
Pasal 24
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak dokumen permohonan izin usaha diterima secara lengkap.
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. analisis atas kelengkapan dokumen;
b. verifikasi sumber dana dan setoran modal;
c. analisis kelayakan atas rencana bisnis Perusahaan dalam rangka persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf a, Pasal 18 ayat (1) huruf a, dan Pasal 21 ayat (1) huruf a;
d. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon pihak utama;
e. analisis pelaporan persetujuan/pencatatan produk Asuransi atau produk Asuransi Syariah; dan
f. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
(3) Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan peninjauan ke kantor Perusahaan untuk memastikan kesiapan operasional Perusahaan.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil analisis Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat kekurangan dokumen, Direksi harus menyampaikan kelengkapan dokumen paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Dalam hal Direksi telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Perusahaan dianggap membatalkan permohonan izin usaha.
(7) Perusahaan yang membatalkan permohonan izin usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan memberikan kewenangan bagi Perusahaan untuk mencairkan dana yang diperuntukkan sebagai Dana Jaminan.
(8) Dalam hal permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan keputusan pemberian izin usaha kepada Perusahaan.
(9) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan disampaikan secara tertulis dengan disertai alasan penolakan.
(10) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan untuk pencairan Dana Jaminan bagi Perusahaan yang membatalkan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan Perusahaan yang permohonan izin usahanya ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
(11) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) tidak berlaku bagi pembatalan atau penolakan izin usaha konversi.
Pasal 25
(1) Perusahaan yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan usaha paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Perusahaan yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha.
(3) Pelaporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dilampiri dengan bukti kegiatan pertanggungan/kepesertaan yang telah dilakukan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah atau bukti pertanggungan/kepesertaan ulang yang telah dilakukan oleh Perusahaan Reasuransi atau Perusahaan Reasuransi Syariah.
(4) Dalam hal Perusahaan yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan belum melakukan kegiatan usaha sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), izin usaha yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dinyatakan batal dan tidak berlaku.
(5) Ketentuan pencairan Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (10) berlaku mutatis mutandis bagi Perusahaan yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan belum melakukan kegiatan usaha sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Keempat
Sanksi Administratif
Pasal 26
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), ayat (4), Pasal 22, dan/atau Pasal 25 ayat (1), ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(4) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Kelima
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 27
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB IV
PEMEGANG SAHAM PENGENDALI DAN PENGENDALI
Bagian Kesatu
Pemegang Saham Pengendali
Pasal 28
(1) Setiap Pihak hanya dapat menjadi PSP pada 1 (satu) Perusahaan Asuransi Jiwa, 1 (satu) Perusahaan Asuransi Umum, 1 (satu) Perusahaan Reasuransi, 1 (satu) Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, 1 (satu) Perusahaan Asuransi Umum Syariah, dan 1 (satu) Perusahaan Reasuransi Syariah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila PSP adalah Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Pengendali
Pasal 29
(1) Perusahaan wajib menetapkan paling sedikit 1 (satu) Pengendali.
(2) Perusahaan wajib mengajukan permohonan penetapan Pengendali bersama dengan permohonan kemampuan dan kepatutan calon Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pihak yang dikategorikan sebagai Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. PSP
b. pemegang saham; atau
c. bukan pemegang saham.
(4) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a termasuk perhitungan atas kepemilikan saham secara kumulatif antar pemegang saham didasarkan pada:
a. adanya hubungan kepemilikan; dan/atau
b. adanya hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua.
(5) Tata cara penilaian kemampuan dan kepatutan bagi Pengendali dilakukan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
(6) Pengendali wajib ikut bertanggung jawab untuk mengganti kerugian dalam hal kerugian dimaksud disebabkan oleh tindakan Pengendali, pengaruh Pengendali, dan/atau tindakan Pihak dalam pengendaliannya.
Pasal 30
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan:
a. Pengendali, jika Perusahaan tidak menetapkan Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1); dan/atau
b. Pengendali lain di luar Pengendali yang telah ditetapkan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1).
(2) Untuk menetapkan Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan instruksi tertulis kepada Perusahaan untuk menyampaikan data yang mendukung penunjukkan calon Pengendali termasuk melakukan konfirmasi terhadap calon Pengendali di luar Pengendali tersebut.
(3) Perusahaan wajib memenuhi instruksi tertulis Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Perusahaan tidak menyampaikan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Tata cara penetapan Pengendali oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa mengikuti ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
Pasal 31
(1) Pihak yang telah ditetapkan menjadi Pengendali tidak dapat berhenti menjadi Pengendali tanpa persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan alasan pemberhentian Pengendali.
(3) Dalam hal Perusahaan hanya memiliki 1 (satu) Pengendali, Perusahaan harus terlebih dahulu menetapkan Pengendali yang baru untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan pemberhentian Pengendali yang disampaikan Perusahaan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan.
(5) Persetujuan atau penolakan Otoritas Jasa Keuangan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap atau ditetapkannya laporan hasil pemeriksaan.
(6) Bagi Pihak yang telah disetujui Otoritas Jasa Keuangan untuk berhenti menjadi Pengendali pada Perusahaan, namun yang bersangkutan masih melakukan Pengendalian terhadap Perusahaan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan yang bersangkutan sebagai Pengendali.
Pasal 32
(1) Perusahaan wajib melaporkan perubahan Pengendali kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan:
a. daftar pemegang saham;
b. rincian masing-masing kepemilikan saham; dan
c. rincian seluruh struktur kelompok usaha yang terkait Perusahaan dan badan hukum pemilik Perusahaan sampai dengan pemilik terakhir disertai dokumen pendukung.
(2) Perubahan Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk:
a. penambahan Pengendali;
b. perubahan nama Pengendali;
c. pemberhentian Pengendali; dan/atau
d. penggantian Pengendali.
(3) Perubahan Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah ditetapkan oleh Perusahaan.
(4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyetujui pemberhentian Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, hasil penilaian kemampuan dan kepatutan atas Pengendali yang lama menjadi tidak berlaku.
Pasal 33
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menyetujui permohonan calon Pengendali dari Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dan pelaporan perubahan Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat persetujuan penetapan Pengendali.
Bagian Ketiga
Sanksi Administratif
Pasal 34
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), ayat (2), ayat (6), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (2), dan/atau Pasal 32 ayat (1), ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(5) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Keempat
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 35
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB V
KONSOLIDASI PERUSAHAAN
Pasal 36
Perusahaan dapat melakukan konsolidasi untuk:
a. mewujudkan penguatan struktur, ketahanan, dan daya saing industri perasuransian;
b. meningkatkan skala ekonomi Perusahaan; dan/atau
c. menghadapi tantangan dan tuntutan inovasi produk serta layanan Asuransi atau Asuransi Syariah berbasis teknologi.
Pasal 37
(1) Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dapat dilakukan melalui skema:
a. Penggabungan atau Peleburan;
b. Pengambilalihan yang diikuti dengan Penggabungan atau Peleburan; atau
c. pembentukan KUPA.
(2) Skema konsolidasi Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku bagi Pihak yang telah menjadi PSP Perusahaan, baik antar Perusahaan yang dimiliki oleh PSP yang sama atau dengan Perusahaan yang dimiliki oleh PSP lain.
(3) Skema konsolidasi Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku bagi Pihak yang:
a. telah menjadi PSP dan melakukan Pengambilalihan 1 (satu) Perusahaan atau lebih; atau
b. akan menjadi PSP, yang melakukan Pengambilalihan 2 (dua) Perusahaan atau lebih, yang diikuti dengan Penggabungan atau Peleburan.
(4) Skema konsolidasi Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berlaku bagi:
a. Perusahaan yang merupakan PSP dari 1 (satu) Perusahaan atau lebih; atau
b. PSP merupakan badan hukum lembaga keuangan bukan Perusahaan, badan hukum bukan lembaga jasa keuangan, warga negara Indonesia, Badan Hukum Asing, dan/atau warga negara asing yang memiliki 2 (dua) Perusahaan atau lebih.
BAB VI
PENGGABUNGAN DAN PELEBURAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 38
(1) Perusahaan dapat melakukan:
a. Penggabungan; atau
b. Peleburan.
(2) Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan:
a. berbentuk badan hukum yang sama;
b. memiliki bidang usaha yang sejenis; dan
c. memiliki prinsip penyelenggaraan usaha yang sama.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak berlaku dalam hal Penggabungan atau Peleburan diikuti dengan penyesuaian prinsip kegiatan usaha dari konvensional menjadi Prinsip Syariah.
Pasal 39
(1) Perusahaan yang melakukan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan harus memenuhi persyaratan:
a. rencana Penggabungan atau Peleburan telah dicantumkan dalam rencana bisnis Perusahaan;
b. Penggabungan atau Peleburan tersebut tidak mengurangi hak pemegang polis, tertanggung, atau peserta;
c. kondisi keuangan Perusahaan hasil Penggabungan atau Peleburan tersebut harus tetap memenuhi ketentuan tingkat kesehatan keuangan dengan hasil penilaian peringkat komposit 1 atau peringkat komposit 2; dan
d. calon pihak utama Perusahaan hasil Penggabungan atau Peleburan telah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Untuk memperoleh persetujuan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan:
a. daftar persyaratan dokumen permohonan persetujuan Penggabungan atau Peleburan tercantum dalam Lampiran pada tabel IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
b. permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon pihak utama Perusahaan hasil Penggabungan atau Peleburan.
Pasal 40
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak dokumen permohonan persetujuan Penggabungan atau Peleburan diterima secara lengkap.
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. analisis atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3);
b. analisis kelayakan atas rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan;
c. penilaian kemampuan dan kepatutan calon pihak utama hasil Penggabungan dan Peleburan; dan
d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perasuransian.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil analisis Otoritas Jasa Keuangan terdapat kekurangan dokumen, Direksi harus menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal Direksi telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Perusahaan dianggap membatalkan permohonan persetujuan Penggabungan atau Peleburan.
(6) Dalam hal permohonan persetujuan Penggabungan atau Peleburan disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan kepada Perusahaan yang bersangkutan.
(7) Dalam hal permohonan persetujuan Penggabungan atau Peleburan ditolak, penolakan disampaikan secara tertulis dan disertai dengan alasan penolakan.
Pasal 41
(1) Perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan dari Otoritas Jasa Keuangan harus melaksanakan RUPS yang menyetujui Penggabungan atau Peleburan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) telah terlampaui dan Perusahaan belum melaksanakan RUPS yang menyetujui Penggabungan atau Peleburan, Otoritas Jasa Keuangan dapat membatalkan persetujuan rencana pelaksanaan Penggabungan atau Peleburan yang sebelumnya telah diberikan.
Bagian Kedua
Penggabungan
Pasal 42
(1) Perusahaan yang menerima Penggabungan wajib melaporkan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Penggabungan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal RUPS.
(2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Penggabungan tercantum dalam Lampiran pada tabel V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 43
Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Penggabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan:
a. melakukan analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2);
b. mencabut izin usaha dari Perusahaan yang menggabungkan diri dan izin pembentukan Unit Syariah dari Perusahaan yang menggabungkan diri, yang mulai berlaku efektif terhitung sejak tanggal perubahan anggaran dasar disahkan oleh, disetujui oleh, atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang; dan
c. memberikan persetujuan perubahan nama Unit Syariah dalam rangka Penggabungan yang mulai berlaku efektif terhitung sejak perubahan anggaran dasar disahkan oleh, disetujui oleh, atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang.
Pasal 44
(1) Perusahaan yang menerima Penggabungan wajib melaporkan pelaksanaan Penggabungan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang.
(2) Pelaporan pelaksanaan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan dokumen berupa salinan perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh, disetujui oleh atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang.
Pasal 45
Penggabungan wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Peleburan
Pasal 46
(1) Perusahaan hasil Peleburan wajib melaporkan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal RUPS.
(2) Pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan tercantum dalam Lampiran pada tabel VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 47
Berdasarkan pelaporan pelaksanaan RUPS yang menyetujui Peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan:
a. melakukan analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2);
b. mencabut izin usaha Perusahaan yang meleburkan diri dan izin pembentukan Unit Syariah Perusahaan yang meleburkan diri yang mulai berlaku efektif terhitung sejak anggaran dasar disahkan oleh, disetujui oleh, atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang; dan
c. memberikan persetujuan atau penolakan:
1. izin usaha kepada Perusahaan yang merupakan hasil Peleburan; dan
2. izin pembentukan Unit Syariah kepada Perusahaan yang merupakan hasil Peleburan,
yang mulai berlaku efektif terhitung sejak tanggal perubahan anggaran dasar disahkan oleh, disetujui oleh, atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang.
Pasal 48
(1) Perusahaan hasil Peleburan wajib melaporkan pelaksanaan Peleburan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal anggaran dasar disahkan oleh, disetujui oleh, atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang.
(2) Pelaporan pelaksanaan Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan dokumen berupa salinan anggaran dasar yang telah disahkan oleh, disetujui oleh, atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 49
Perusahaan yang melakukan Peleburan dilarang:
a. menjalankan kegiatan operasional; dan
b. memasarkan produk Asuransi atau produk Asuransi Syariah, dengan nama Perusahaan baru hasil Peleburan sebelum pelaksanaan Peleburan dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
Pasal 50
Peleburan wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Sanksi Administratif
Pasal 51
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Pasal 42 ayat (1),
Pasal 44 ayat (1), Pasal 45, Pasal 46 ayat (1), Pasal 48
ayat (1), Pasal 49, dan/atau Pasal 50 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Pasal 44 ayat (1), Pasal 46 ayat (1), dan/atau Pasal 48 ayat (1) dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(5) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Kelima
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 52
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB VII
KELOMPOK USAHA PERUSAHAAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 53
(1) KUPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c dibentuk oleh Perusahaan Induk dan/atau pelaksana Perusahaan Induk yang dinilai mampu memenuhi kecukupan permodalan dan likuiditas Perusahaan yang berada dalam KUPA.
(2) KUPA dapat dibentuk dalam hal rencana Penggabungan atau Peleburan Perusahaan tidak dapat meningkatkan skala usaha secara signifikan terhadap Perusahaan setelah dilakukan Penggabungan, atau Peleburan dengan tetap memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 54
(1) Struktur KUPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. Perusahaan sebagai Perusahaan Induk atau pelaksana Perusahaan Induk; dan
b. Perusahaan anak.
(2) Perusahaan Induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan:
a. PSP; atau
b. Pemegang saham selain PSP yang memiliki saham paling sedikit 10% (sepuluh persen) pada Perusahaan.
(3) Pelaksana Perusahaan Induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Perusahaan yang memiliki pemegang saham yang sama dengan Perusahaan anak dimana pemegang saham dimaksud bukan merupakan Perusahaan Induk.
(4) Pelaksana Perusahaan Induk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus merupakan Perusahaan yang memiliki Ekuitas yang paling besar.
(5) Perusahaan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat merupakan 1 (satu) atau lebih:
a. Perusahaan yang dimiliki oleh Perusahaan Induk atau pelaksana Perusahaan Induk; dan/atau
b. Perusahaan yang memiliki pemegang saham yang sama dengan Pelaksana Perusahaan Induk dimana pemegang saham yang dimaksud bukan merupakan Perusahaan Induk.
Bagian Kedua
Pembentukan KUPA
Pasal 55
(1) Perusahaan yang bertanggung jawab sebagai Perusahaan Induk atau pelaksana Perusahaan Induk harus menyampaikan rencana pembentukan KUPA kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan disertai:
a. struktur KUPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1);
b. dokumen penunjukan sebagai pelaksana Perusahaan Induk dari PSP bagi Perusahaan yang ditunjuk sebagai pelaksana Perusahaan Induk oleh PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1); dan
c. dokumen yang menyatakan komitmen pemegang saham Perusahaan anak dalam mengatasi permasalahan permodalan dan likuiditas Perusahaan anak.
(2) Dalam hal KUPA memenuhi persyaratan pembentukan KUPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Pasal 54, Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan surat penegasan terhadap rencana pembentukan KUPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Perusahaan sebagai Perusahaan Induk atau pelaksana Perusahaan Induk.
(3) Surat penegasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah rencana pembentukan KUPA disertai dengan struktur KUPA yang diterima Otoritas Jasa Keuangan untuk pembentukan KUPA terhadap Perusahaan yang telah dimiliki sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal terdapat perubahan struktur KUPA, Perusahaan Induk atau pelaksana Perusahaan Induk harus menyampaikan rencana perubahan struktur KUPA kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memperoleh penegasan.
(5) Ketentuan mengenai pembentukan KUPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku secara mutatis mutandis terhadap perubahan struktur KUPA sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
BAB VIII
PENINGKATAN EKUITAS MINIMUM DAN PENGELOMPOKAN PERUSAHAAN
Bagian Kesatu Ekuitas Minimum Perusahaan
Pasal 56
(1) Perusahaan wajib memenuhi Ekuitas minimum yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Kewajiban pemenuhan Ekuitas minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui 2 (dua) tahap:
a. tahap pertama dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember 2026, Perusahaan wajib memiliki Ekuitas minimum paling sedikit:
1. Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah) bagi Perusahaan Asuransi;
2. Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) bagi Perusahaan Reasuransi;
3. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) bagi Perusahaan Asuransi Syariah; dan
4. Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) bagi Perusahaan Reasuransi Syariah; dan
b. tahap kedua dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember 2028, Perusahaan memiliki Ekuitas minimum berdasarkan pengelompokan Perusahaan yang terdiri atas:
1. KPPE 1 wajib memiliki Ekuitas minimum paling sedikit:
a) Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) bagi Perusahaan Asuransi;
b) Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) bagi Perusahaan Reasuransi;
c) Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) bagi Perusahaan Asuransi Syariah; dan
d) Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) bagi Perusahaan Reasuransi Syariah; dan
2. KPPE 2 wajib memiliki Ekuitas minimum paling sedikit:
a) Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) bagi Perusahaan Asuransi;
b) Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) bagi Perusahaan Reasuransi;
c) Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) bagi Perusahaan Asuransi Syariah; dan
d) Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) bagi Perusahaan Reasuransi Syariah.
(3) Pengelompokan Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan Otoritas Jasa Keuangan dalam menentukan strategi pengawasan Otoritas Jasa Keuangan yang tepat berdasarkan Ekuitas minimum Perusahaan.
(4) Pengelompokan Perusahaan yang masuk ke dalam KPPE 1 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 1 dilarang menyelenggarakan kegiatan usaha dan/atau produk Asuransi atau Asuransi Syariah selain kegiatan usaha dan/atau produk Asuransi sederhana atau Asuransi Syariah sederhana.
(5) Pengelompokan Perusahaan yang masuk ke dalam KPPE 2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 huruf b dapat menyelenggarakan seluruh kegiatan usaha dan/atau produk Asuransi atau Asuransi Syariah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 57
Perusahaan yang memiliki jumlah Ekuitas minimum kurang dari Ekuitas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 ayat (2) huruf a pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan wajib menyusun rencana pemenuhan Ekuitas minimum.
Pasal 58
(1) Perusahaan wajib menyampaikan rencana pemenuhan Ekuitas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
(2) Dalam hal diperlukan, rencana pemenuhan Ekuitas minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Ekuitas Minimum bagi Perusahaan dalam Pembentukan KUPA
Pasal 59
Bagi Perusahaan yang melakukan konsolidasi dengan skema pembentukan KUPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c, Ekuitas minimum yang wajib dipenuhi oleh Perusahaan Induk dan pelaksana Perusahaan Induk mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf b angka 2.
Pasal 60
Bagi Perusahaan yang melakukan konsolidasi dengan skema pembentukan KUPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c, Ekuitas minimum yang wajib dipenuhi oleh Perusahaan anak mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf a.
Pasal 61
Dalam kondisi tertentu, atas permohonan Perusahaan Otoritas Jasa Keuangan berwenang memperpanjang batas waktu pemenuhan Ekuitas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2).
Bagian Ketiga
Sanksi Administratif
Pasal 62
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), ayat (2), ayat (4), Pasal 57, Pasal 58 ayat (1), Pasal 59, dan/atau Pasal 60 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat Kesehatan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(4) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Keempat
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 63
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB IX
UNIT SYARIAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 64
Ketentuan Unit Syariah berlaku bagi:
a. Unit Syariah yang telah mendapatkan izin pembentukan sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan; dan
b. Unit Syariah yang mendapatkan izin pembentukan sebagai akibat Peleburan.
Bagian Kedua
Pembukuan Unit Syariah
Pasal 65
(1) Unit Syariah wajib memiliki pembukuan terpisah dari Perusahaan induknya.
(2) Laporan keuangan Unit Syariah wajib disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan.
Bagian Ketiga
Pimpinan Unit Syariah
Pasal 66
(1) Unit Syariah wajib dipimpin oleh seorang pimpinan Unit Syariah.
(2) Pimpinan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan operasional Unit Syariah.
(3) Pimpinan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus setiap saat memenuhi ketentuan paling sedikit:
a. tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet;
b. memiliki keahlian, pengalaman, dan/atau bukti pelatihan di bidang keuangan Syariah; dan
c. tidak merangkap jabatan pada fungsi lain pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang sama, kecuali pimpinan Unit Syariah dijabat oleh Direksi.
Pasal 67
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib melaporkan perubahan pimpinan Unit Syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal pengangkatan pimpinan Unit Syariah.
(2) Pelaporan perubahan pimpinan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan perubahan pimpinan Unit Syariah tercantum dalam Lampiran pada tabel VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
Bagian Keempat
Penutupan Unit Syariah
Pasal 68
(1) Dalam hal:
a. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah mengajukan permohonan penutupan Unit Syariah; atau
b. Unit Syariah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin pembentukan Unit Syariah,
dilakukan Penutupan Unit Syariah.
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi mengajukan permohonan penutupan Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan permohonan tersebut dengan disertai rencana penutupan Unit Syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Rencana penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. alasan atau latar belakang penutupan Unit Syariah;
b. uraian mengenai kondisi Unit Syariah, termasuk data mengenai jumlah polis yang masih berlaku (in-force), jumlah pemegang polis atau peserta, jumlah kewajiban Unit Syariah kepada pemegang polis atau peserta dan kewajiban lainnya; dan
c. rencana penyelesaian hak dan kewajiban kepada pemegang polis atau peserta dan Pihak lainnya.
(4) Berdasarkan permohonan penutupan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atas rencana penutupan Unit Syariah.
Pasal 69
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang telah memperoleh persetujuan atas rencana penutupan Unit Syariah wajib:
a. menghentikan seluruh kegiatan usaha Unit Syariah;
b. mengumumkan rencana penghentian kegiatan usaha Unit Syariah dan rencana penyelesaian kewajiban Unit Syariah dalam:
1. media massa berbahasa Indonesia secara elektronik dan/atau cetak yang beredar secara nasional dan situs web Perusahaan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal surat penetapan persetujuan rencana penutupan Unit Syariah; dan
2. surat atau media komunikasi elektronik kepada setiap pemegang polis, peserta, atau tertanggung; dan
c. menyelesaikan seluruh kewajiban Unit Syariah paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal surat persetujuan rencana penutupan Unit Syariah dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pelaksanaan penghentian kegiatan usaha Unit Syariah wajib dilaporkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal penghentian.
Pasal 70
(1) Setelah seluruh kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) diselesaikan, Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan penghentian kegiatan usaha Unit Syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) yang paling sedikit memuat:
a. pelaksanaan penghentian kegiatan Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a;
b. pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b;
c. pelaksanaan penyelesaian hak dan kewajiban pemegang polis atau peserta Unit Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c;
d. neraca akhir Unit Syariah yang telah diaudit oleh auditor independen; dan
e. surat pernyataan dari Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyatakan bahwa seluruh kewajiban Unit Syariah telah diselesaikan dan apabila terdapat tuntutan di kemudian hari menjadi tanggung jawab Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal neraca akhir Unit Syariah diaudit oleh auditor independen.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. penelitian atas laporan pelaksanaan rencana penutupan Unit Syariah; dan
b. menetapkan keputusan pencabutan izin pembentukan Unit Syariah paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap.
Bagian Kelima
Sanksi Administratif
Pasal 71
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, Pasal 66 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 68 ayat (2), Pasal 69, dan/atau Pasal 70 ayat (1), ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1), dan Pasal 69 ayat (2), Pasal 70 ayat (2) dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(4) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Keenam
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 72
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB X
FUNGSI DALAM ORGANISASI PERUSAHAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 73
(1) Perusahaan wajib memiliki susunan organisasi yang menggambarkan secara jelas pemisahan fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan.
(2) Perusahaan wajib memiliki satuan kerja yang menangani fungsi paling sedikit:
a. underwriting;
b. aktuaria;
c. penyelesaian administrasi klaim;
d. pemasaran;
e. keuangan termasuk pengelolaan investasi;
f. manajemen risiko;
g. audit internal;
h. administrasi dan akuntansi;
i. kepatuhan dan pengendalian fraud;
j. penerapan program anti pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme, pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal dan kejahatan keuangan lain;
k. literasi dan inklusi keuangan; dan
l. pelayanan dan penyelesaian pengaduan.
(3) Susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan prosedur kerja secara tertulis, yang ditetapkan oleh Direksi.
(4) Perusahaan wajib memiliki susunan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mencerminkan adanya pengendalian internal yang baik dan komite yang mempunyai fungsi khusus.
(5) Perusahaan wajib memiliki pegawai yang bertanggung jawab atas masing-masing fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Pengelolaan Perusahaan wajib didukung paling sedikit dengan sistem pengolahan data yang dapat menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam pengambilan keputusan.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 74
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(3) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Ketiga
Penilaian Kembali Terhadap Pihak Utama
Pasal 75
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB XI
RANGKAP JABATAN DAN SERTIFIKASI PIHAK UTAMA SERTA PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 76
(1) Perusahaan wajib memiliki anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris masing-masing paling sedikit 3 (tiga) orang.
(2) Perusahaan dilarang memiliki jumlah anggota Dewan Komisaris melebihi jumlah anggota Direksi.
Bagian Kedua
Ketentuan Rangkap Jabatan bagi Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
Pasal 77
(1) Perusahaan dilarang mengangkat anggota Direksi yang merangkap jabatan sebagai anggota direksi atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, atau dewan pengawas syariah pada perusahaan perasuransian dan/atau perusahaan lain.
(2) Larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi anggota Direksi selain direktur utama atau yang setara untuk menjalankan tugas fungsional menjadi anggota dewan komisaris atau yang setara pada anak perusahaan yang dikendalikan oleh Perusahaan sepanjang perangkapan jabatan tersebut tidak mengakibatkan yang bersangkutan mengabaikan pelaksanaan tugas dan wewenang sebagai anggota Direksi.
Pasal 78
(1) Perusahaan dilarang mengangkat anggota Dewan Komisaris yang merangkap jabatan sebagai:
a. anggota Dewan Komisaris atau yang setara pada perusahaan perasuransian yang memiliki bidang usaha sejenis;
b. anggota DPS pada perusahaan perasuransian yang memiliki bidang usaha yang sejenis; dan/atau
c. anggota Direksi atau yang setara pada perusahaan perasuransian dan/atau perusahaan lain.
(2) Perusahaan dilarang mengangkat anggota Dewan Komisaris yang merangkap jabatan selain sebagai anggota dewan komisaris atau yang setara atau anggota dewan pengawas syariah pada paling banyak 3 (tiga) perusahaan lain yang:
a. bukan merupakan perusahaan perasuransian; dan/atau
b. merupakan perusahaan perasuransian yang bukan bidang usaha sejenis.
(3) Perusahaan dilarang mengangkat anggota Dewan Komisaris independen Perusahaan yang merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris independen pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang memiliki bidang usaha sejenis.
Pasal 79
(1) Perusahaan dilarang mengangkat anggota DPS yang merangkap jabatan sebagai:
a. anggota Direksi pada perusahaan perasuransian; atau
b. anggota Dewan Komisaris pada perusahaan perasuransian yang memiliki bidang usaha sejenis.
(2) Perusahaan dilarang mengangkat anggota DPS yang merangkap jabatan selain sebagai anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah paling banyak pada 5 (lima) lembaga jasa keuangan lain.
Bagian Ketiga
Sertifikasi
Pasal 80
(1) Anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif wajib memiliki sertifikat keahlian di bidang manajemen risiko dari LSP di bidang manajemen risiko.
(2) Sertifikat keahlian di bidang manajemen risiko bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk penilaian kemampuan kepatutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Keempat
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 81
(1) Perusahaan dapat mempekerjakan tenaga kerja asing.
(2) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan:
a. hanya dapat menduduki jabatan sebagai:
1. Tenaga Ahli yang merupakan Pejabat Eksekutif;
2. aktuaris; atau
3. konsultan; dan
b. hanya dapat ditugaskan untuk menangani fungsi:
1. underwriting;
2. aktuaria;
3. pemasaran; dan/atau
4. sistem informasi.
(3) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memenuhi jangka waktu:
a. bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan sebagai Tenaga Ahli yang merupakan Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 1, hanya dapat dipekerjakan dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 1 (satu) tahun;
b. bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan sebagai aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2, hanya dapat dipekerjakan dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 5 (lima) tahun; dan
c. bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 3, hanya dapat dipekerjakan dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 1 (satu) tahun.
(4) Perusahaan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing yang tidak memenuhi ketentuan:
a. memiliki keahlian sesuai dengan bidang tugas yang akan menjadi tanggung jawabnya;
b. tenaga kerja asing tersebut menduduki jabatan yang belum dapat diisi oleh tenaga kerja Indonesia; dan
c. memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan.
(5) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagai Tenaga Ahli yang merupakan Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 1, penugasan tenaga kerja asing sebagai Tenaga Ahli yang merupakan Pejabat Eksekutif wajib didampingi oleh tenaga kerja Indonesia dalam rangka alih pengetahuan, keahlian, dan teknologi.
(6) Perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing sebagai aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2 wajib memenuhi ketentuan:
a. memiliki kualifikasi sebagai aktuaris;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang aktuaria asuransi paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
c. mendapat rekomendasi dari asosiasi profesi aktuaris di Indonesia yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dinilai layak untuk bekerja pada Perusahaan di Indonesia bagi aktuaris selain anggota asosiasi profesi aktuaris.
(7) Perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja asing sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 3 wajib memenuhi ketentuan:
a. penugasan tenaga kerja asing hanya untuk melaksanakan proyek atau program tertentu di bidang perasuransian; dan
b. penugasan tenaga kerja asing didampingi oleh tenaga kerja Indonesia dalam rangka alih pengetahuan, keahlian, dan teknologi.
(8) Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan instruksi tertulis kepada Perusahaan untuk memberhentikan tenaga kerja asing yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (7).
(9) Perusahaan wajib memberhentikan tenaga kerja asing yang tidak memenuhi persyaratan berdasarkan instruksi tertulis Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
Pasal 82
(1) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, harus terlebih dahulu mencantumkan rencana penggunaan tenaga kerja asing dalam rencana bisnis.
(2) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing dan telah mencantumkan rencana penggunaan tenaga asing dalam rencana bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib terlebih dahulu melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sebelum tenaga kerja asing dimaksud dipekerjakan.
(3) Pelaporan rencana mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan rencana mempekerjakan tenaga kerja asing tercantum dalam Lampiran pada tabel VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 83
(1) Perusahaan wajib melaporkan pengangkatan dan pemberhentian tenaga kerja asing kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal pengangkatan atau pemberhentian.
(2) Pelaporan pengangkatan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan pengangkatan tenaga kerja asing tercantum dalam Lampiran pada tabel IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Pelaporan pemberhentian tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan disertai alasan pemberhentian.
Pasal 84
(1) Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, wajib menyelenggarakan kegiatan alih pengetahuan dari tenaga kerja asing kepada pegawai Perusahaan.
(2) Alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dibuat dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan tahunan kepada pegawai Perusahaan.
(3) Penyelenggaraan program alih pengetahuan dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan tahunan kepada pegawai Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan oleh Perusahaan dalam laporan realisasi rencana bisnis.
Bagian Kelima
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pasal 85
(1) Perusahaan wajib menyusun dan menyampaikan rencana program pengembangan kualitas sumber daya manusia setiap tahun dalam rencana bisnis.
(2) Pengembangan sumber daya manusia bagi pegawai Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dianggarkan dan direalisasikan dalam bentuk program pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia tahunan.
(3) Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan dalam laporan realisasi rencana bisnis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran biaya program pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Keenam
Sanksi Administratif
Pasal 86
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Pasal 77 ayat (1), Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), ayat (3),
ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), Pasal 82 ayat (2) , Pasal 83 ayat (1), Pasal 84 ayat (1), ayat (3), dan/atau Pasal 85 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 83 ayat (1) dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(4) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Ketujuh
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 87
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB XII
TENAGA AHLI, AKTUARIS, AUDITOR INTERNAL, DAN PEJABAT EKSEKUTIF
Bagian Kesatu
Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah
Pasal 88
(1) Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah wajib mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli.
(2) Tenaga Ahli pada Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus setiap saat memenuhi ketentuan paling sedikit:
a. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum atau asuransi umum syariah dengan level tertinggi dari LSP di bidang perasuransian;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko asuransi umum atau asuransi umum syariah paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi terkait.
(3) Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah wajib menyesuaikan dan memenuhi kualifikasi dan kuantifikasi Tenaga Ahli sesuai dengan:
a. jenis dan lini usaha yang diselenggarakan;
b. kompleksitas usaha; dan
c. ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum atau asuransi umum syariah dengan level paling rendah satu tingkat dibawah kualifikasi tertinggi dari LSP di bidang perasuransian;
b. memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan lini usaha yang diselenggarakan dari LSP di bidang perasuransian;
c. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
d. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi terkait.
(5) Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah dilarang mempekerjakan Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang merangkap jabatan sebagai:
a. anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada Perusahaan yang sama; dan/atau
b. anggota direksi, anggota dewan komisaris, anggota dewan pengawas syariah, atau pegawai pada perusahaan perasuransian dan/atau perusahaan lain.
(6) Ketentuan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dikecualikan untuk Tenaga Ahli yang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi yang membawahkan fungsi teknik asuransi.
Bagian Kedua
Tenaga Ahli Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah
Pasal 89
(1) Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah wajib mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli.
(2) Tenaga Ahli pada Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus setiap saat memenuhi ketentuan paling sedikit:
a. memiliki sertifikat keahlian asuransi jiwa atau asuransi jiwa syariah dengan level tertinggi dari LSP di bidang perasuransian;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko asuransi jiwa atau asuransi jiwa syariah paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi terkait.
(3) Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah wajib menyesuaikan dan memenuhi kualifikasi dan kuantifikasi Tenaga Ahli sesuai dengan:
a. jenis dan lini usaha yang diselenggarakan;
b. kompleksitas usaha; dan
c. ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki sertifikat keahlian asuransi jiwa atau asuransi jiwa syariah dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat dibawah kualifikasi tertinggi dari LSP di bidang perasuransian;
b. memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan lini usaha yang diselenggarakan dari LSP di bidang perasuransian;
c. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
d. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi terkait.
(5) Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah dilarang mengangkat Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang merangkap jabatan sebagai:
a. anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada Perusahaan yang sama; dan/atau
b. anggota direksi, anggota dewan komisaris, anggota dewan pengawas syariah, atau pegawai pada perusahaan perasuransian dan/atau perusahaan lain.
(6) Ketentuan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dikecualikan untuk Tenaga Ahli yang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi yang membawahkan fungsi teknik asuransi.
Bagian Ketiga
Tenaga Ahli Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah
Pasal 90
(1) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah wajib mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli.
(2) Tenaga Ahli pada Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum atau asuransi umum syariah dengan level tertinggi dari LSP di bidang perasuransian;
b. memiliki sertifikat keahlian asuransi jiwa atau asuransi jiwa syariah dengan level tertinggi dari LSP di bidang perasuransian dalam hal Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah menjalankan kegiatan usaha reasuransi jiwa atau reasuransi jiwa syariah;
c. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko reasuransi paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
d. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi terkait.
(3) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah wajib menyesuaikan dan memenuhi kualifikasi dan kuantifikasi Tenaga Ahli sesuai dengan:
a. jenis dan lini usaha yang diselenggarakan;
b. kompleksitas usaha; dan
c. ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum atau asuransi umum syariah dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat dibawah kualifikasi tertinggi dari LSP di bidang perasuransian;
b. memiliki sertifikat keahlian asuransi jiwa atau asuransi jiwa syariah dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat dibawah kualifikasi tertinggi dari LSP di bidang perasuransian;
c. memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan lini usaha dari LSP di bidang perasuransian;
d. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
e. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi terkait.
(5) Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah dilarang mengangkat Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang merangkap jabatan sebagai:
a. anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS pada Perusahaan yang sama; dan/atau
b. anggota direksi, anggota dewan komisaris, anggota dewan pengawas syariah, atau pegawai pada perusahaan perasuransian dan/atau perusahaan lain.
(6) Ketentuan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dikecualikan untuk Tenaga Ahli yang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi yang membawahkan fungsi teknik reasuransi.
Bagian Keempat
Tenaga Ahli Unit Syariah
Pasal 91
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah wajib mempekerjakan Tenaga Ahli yang khusus ditugaskan pada Unit Syariah paling sedikit 1 (satu) orang.
(2) Tenaga Ahli yang khusus untuk ditugaskan pada Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus setiap saat memenuhi ketentuan:
a. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum syariah bagi Tenaga Ahli yang khusus untuk ditugaskan pada Unit Syariah Perusahaan Asuransi Umum dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat dibawah kualifikasi tertinggi dari LSP di bidang perasuransian;
b. memiliki sertifikat keahlian asuransi jiwa syariah bagi Tenaga Ahli yang khusus untuk ditugaskan pada Unit Syariah Perusahaan Asuransi Jiwa dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat dibawah kualifikasi tertinggi dari LSP di bidang perasuransian;
c. memiliki sertifikat keahlian asuransi umum syariah bagi Tenaga Ahli yang khusus untuk ditugaskan pada Unit Syariah Perusahaan Reasuransi dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat dibawah kualifikasi tertinggi dari LSP di bidang perasuransian;
d. memiliki sertifikat keahlian asuransi jiwa syariah bagi Tenaga Ahli yang khusus untuk ditugaskan pada Unit Syariah Perusahaan Reasuransi yang menjalankan kegiatan usaha reasuransi jiwa syariah dengan level paling rendah satu tingkat dibawah kualifikasi tertinggi dari LSP di bidang perasuransian;
e. memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan lini usaha dari LSP di bidang perasuransian;
f. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
g. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi terkait.
(3) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah dilarang mengangkat Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merangkap jabatan sebagai:
a. anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, atau Pimpinan Unit Syariah pada Perusahaan yang sama; dan/atau
b. anggota direksi, anggota dewan komisaris, anggota dewan pengawas syariah, atau pimpinan Unit Syariah pada perusahaan perasuransian dan/atau perusahaan lain.
(4) Ketentuan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dikecualikan untuk Tenaga Ahli yang merangkap jabatan sebagai anggota Direksi yang membawahkan fungsi teknik asuransi.
Bagian Kelima
Tenaga Ahli pada Kantor di Luar Kantor Pusat
Pasal 92
(1) Perusahaan wajib mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang Tenaga Ahli dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat dibawah kualifikasi tertinggi pada setiap kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan/kepesertaan dan/atau klaim.
(2) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bekerja penuh waktu dan ditempatkan pada kantor yang bersangkutan sesuai dengan surat penugasan dari Perusahaan.
(3) Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus setiap saat memenuhi ketentuan:
a. memiliki sertifikat keahlian sesuai lingkup usaha dengan level paling rendah 1 (satu) tingkat di bawah kualifikasi tertinggi dari LSP di bidang perasuransian;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang pengelolaan risiko asuransi paling singkat 2 (dua) tahun; dan
c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari asosiasi profesi terkait.
Bagian Keenam Aktuaris
Pasal 93
(1) Perusahaan wajib mempekerjakan 1 (satu) orang aktuaris sebagai Aktuaris Perusahaan yang memimpin fungsi aktuaria sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (2) huruf b.
(2) Perusahaan wajib mempekerjakan aktuaris dalam jumlah yang cukup sesuai dengan:
a. jenis dan lini usaha yang diselenggarakan; dan
b. kompleksitas usaha.
(3) Perusahaan dilarang mempekerjakan Aktuaris Perusahaan yang merangkap jabatan sebagai:
a. anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, atau pejabat selain fungsi aktuaria pada Perusahaan yang sama;
b. konsultan aktuaria; dan/atau
c. aktuaris, Tenaga Ahli, anggota direksi, atau pejabat pada perusahaan lain.
(4) Aktuaris Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan aktuaris yang dipekerjakan Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus setiap saat memenuhi ketentuan paling sedikit:
a. memiliki kualifikasi sebagai aktuaris yang mendapatkan izin dari instansi yang berwenang;
b. memiliki pengalaman kerja dalam bidang aktuaria asuransi paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
c. menjadi anggota asosiasi profesi aktuaris atau mendapat rekomendasi dari asosiasi profesi aktuaris yang menyatakan bahwa yang bersangkutan dinilai layak untuk bekerja pada Perusahaan di Indonesia bagi aktuaris selain anggota asosiasi profesi aktuaris.
Pasal 94
(1) Aktuaris Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dan aktuaris yang dipekerjakan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) paling sedikit bertugas melakukan evaluasi terhadap kewajiban Perusahaan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan aspek teknis aktuaria lainnya.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Aktuaris Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dan aktuaris yang dipekerjakan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) harus berpedoman pada standar praktik dan kode etik profesi yang berlaku.
Bagian Ketujuh
Auditor Internal
Pasal 95
(1) Perusahaan wajib memiliki fungsi audit internal sesuai dengan ukuran, karakteristik, dan kompleksitas usaha Perusahaan.
(2) Fungsi audit internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam standar pelaksanaan fungsi audit internal yang paling sedikit mencakup hal yang diatur dalam standar profesional audit internal.
(3) Pelaksanaan fungsi audit internal didukung oleh sumber daya, metodologi, perangkat, dan teknik audit yang memadai.
Pasal 96
(1) Satuan kerja yang menjalankan fungsi audit internal Perusahaan bertanggung jawab secara langsung kepada direktur utama atau yang setara.
(2) Dalam melaksanakan tugas, satuan kerja audit internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan kepada:
a. direktur utama atau yang setara; atau
b. Dewan Komisaris.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan salinannya kepada Dewan Komisaris, komite audit, dan direktur atau yang setara yang membawahkan fungsi kepatuhan.
(4) Satuan kerja yang menjalankan fungsi audit internal Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang auditor internal.
(5) Auditor internal yang memimpin satuan kerja yang menjalankan fungsi audit internal Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus memiliki kompetensi dan kemampuan yang memadai dalam memimpin fungsi audit internal yang independen dan objektif.
(6) Auditor internal sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat dan diberhentikan oleh direktur utama atau yang setara setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Komisaris dengan mempertimbangkan rekomendasi komite audit.
Pasal 97
Satuan kerja yang menjalankan fungsi audit internal Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) mempunyai wewenang:
a. mengakses seluruh informasi yang relevan tentang Perusahaan terkait dengan tugas dan fungsi audit internal;
b. melakukan komunikasi secara langsung dengan:
1. Direksi;
2. Dewan Komisaris;
3. komite audit; dan
4. DPS bagi Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah;
c. menyelenggarakan rapat secara berkala dan insidentil dengan:
1. Direksi;
2. Dewan Komisaris;
3. komite audit; dan
4. DPS bagi Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah;
d. melakukan koordinasi kegiatan dengan auditor eksternal;
e. mengikuti rapat yang bersifat strategis; dan
f. kewenangan lain berkaitan dengan pelaksanaan fungsi audit internal.
Pasal 98
Tugas pokok satuan kerja yang menjalankan fungsi audit internal Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1), mencakup:
a. membantu tugas direktur utama atau yang setara dan Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan dengan cara menjabarkan secara operasional baik perencanaan, pelaksanaan, maupun pemantauan hasil audit;
b. membuat analisis dan penilaian di bidang keuangan, akuntansi, operasional, dan bidang lain;
c. mengidentifikasi segala kemungkinan untuk memperbaiki dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana;
d. memberikan saran perbaikan dan informasi yang objektif tentang kegiatan yang diperiksa pada semua tingkatan manajemen; dan
e. tugas lain yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi audit internal.
Pasal 99
(1) Perusahaan wajib:
a. menetapkan satuan kerja yang menjalankan fungsi audit internal dengan kualifikasi memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan fungsi audit internal terhadap Perusahaan secara menyeluruh;
b. memastikan satuan kerja yang menjalankan fungsi audit internal menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang dilaksanakan secara profesional; dan
c. memastikan satuan kerja yang menjalankan fungsi audit internal meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi lain melalui pengembangan profesional berkelanjutan.
(2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki Unit Syariah wajib menetapkan paling sedikit 1 (satu) orang anggota satuan kerja yang menjalankan fungsi audit internal yang memiliki pengetahuan dan/atau pemahaman tentang operasional perasuransian dengan Prinsip Syariah.
Bagian Kedelapan
Pejabat Eksekutif
Pasal 100
(1) Perusahaan wajib melakukan penilaian sendiri terhadap calon Pejabat Eksekutif sebelum melakukan pengangkatan atau penggantian Pejabat Eksekutif.
(2) Penilaian terhadap calon Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aspek integritas, reputasi keuangan, dan kompetensi yang relevan dengan bidang pekerjaan calon Pejabat Eksekutif.
(3) Penilaian terhadap calon Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit mencakup:
a. penilaian rekam jejak termasuk sanksi yang pernah diberikan Otoritas Jasa Keuangan, Asosiasi, asosiasi profesi di sektor jasa keuangan, Perusahaan, atau perusahaan lain sebelumnya;
b. memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet di lembaga jasa keuangan dan/atau menjadi pengendali, anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dari perusahaan yang mempunyai kredit dan/atau pembiayaan macet;
c. penilaian terkait rekam jejak atas aspek kepailitan dan/atau pengalaman menjadi pemegang saham, anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara, yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit atau dicabut izin usahanya;
d. latar belakang pendidikan baik formal maupun informal;
e. kemampuan calon untuk menduduki posisi yang akan dijabat; dan
f. rangkap jabatan.
(4) Pejabat Eksekutif wajib setiap saat memenuhi persyaratan:
a. integritas;
b. reputasi keuangan; dan
c. memiliki kompetensi yang relevan dengan bidang pekerjaan calon Pejabat Eksekutif.
(5) Perusahaan wajib memberhentikan Pejabat Eksekutif yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Dalam hal berdasarkan penilaian atau hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, Pejabat Eksekutif Perusahaan tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan instruksi tertulis kepada Perusahaan untuk memberhentikan Pejabat Eksekutif dimaksud.
(7) Perusahaan wajib memenuhi instruksi tertulis Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Perusahaan wajib melaporkan pengangkatan dan pemberhentian Pejabat Eksekutif kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap bulan yang dilaporkan sebagai bagian dari laporan berkala Perusahaan sesuai dengan ketentuan mengenai bentuk dan susunan laporan berkala Perusahaan.
Pasal 101
(1) Dalam hal adanya kekosongan jabatan Pejabat Eksekutif atau Pejabat Eksekutif yang menjabat tidak dapat menjalankan tugas selama lebih dari 3 (tiga) bulan, Perusahaan dapat melakukan penunjukan sementara Pejabat Eksekutif.
(2) Penunjukan sementara Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan penilaian sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1).
(3) Perusahaan wajib mengangkat Pejabat Eksekutif yang definitif paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal penunjukan sementara Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kesembilan
Pelaporan Pengangkatan dan Pemberhentian Tenaga Ahli, Aktuaris Perusahaan, dan Auditor Internal
Pasal 102
(1) Perusahaan wajib melaporkan pengangkatan dan pemberhentian Tenaga Ahli, Aktuaris Perusahaan, dan auditor internal kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal pengangkatan atau pemberhentian Tenaga Ahli, Aktuaris Perusahaan, dan/atau auditor internal.
(2) Pelaporan pengangkatan Tenaga Ahli, Aktuaris Perusahaan, dan/atau auditor internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan pengangkatan Tenaga Ahli, Aktuaris Perusahaan, dan/atau auditor internal tercantum dalam Lampiran pada tabel X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Pelaporan pemberhentian Tenaga Ahli, Aktuaris Perusahaan, dan/atau auditor internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kesepuluh
Sanksi Administratif
Pasal 103
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1), ayat (3), ayat (5), Pasal 89 ayat (1), ayat (3), ayat (5), Pasal 90 ayat (1), ayat (3), ayat (5), Pasal 91 ayat (1), ayat (3), Pasal 92 ayat (1), ayat (2), Pasal 93 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 95 ayat (1), Pasal 96 ayat (2), Pasal 99, Pasal 100 ayat (1), ayat (4), ayat (5), ayat (7), ayat (8), Pasal 101 ayat (2), ayat (3), dan/atau Pasal 102 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(4) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Kesebelas
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 104
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB XIII
KANTOR DI LUAR KANTOR PUSAT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 105
(1) Perusahaan dapat membuka kantor di luar kantor pusat di dalam atau di luar negeri.
(2) Kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kantor di luar kantor pusat yang:
a. memiliki kewenangan menerima atau menolak penutupan asuransi, menandatangani polis, menetapkan untuk membayar atau menolak klaim; dan
b. tidak memiliki kewenangan menerima atau menolak penutupan asuransi, menandatangani polis, menetapkan untuk membayar atau menolak klaim.
(3) Perusahaan bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap kantor yang dimiliki/dikelola oleh:
a. Perusahaan; atau
b. pihak lain yang diberi izin menggunakan nama Perusahaan.
Bagian Kedua
Pembukaan Kantor di Luar Kantor Pusat yang Memiliki Kewenangan untuk Membuat Keputusan mengenai Penerimaan dan Penolakan Pertanggungan/Kepesertaan dan Klaim
Pasal 106
(1) Perusahaan wajib mencantumkan setiap rencana pembukaan kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) huruf a dalam rencana bisnis Perusahaan.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai rencana bisnis lembaga jasa keuangan nonbank.
(3) Perusahaan yang akan membuka kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) huruf a harus:
a. memenuhi ketentuan mengenai tingkat solvabilitas untuk 4 (empat) triwulan terakhir;
b. memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat komposit 1 atau peringkat komposit 2;
c. memiliki Tenaga Ahli yang bekerja secara penuh dan ditempatkan pada kantor yang bersangkutan; dan
d. tidak sedang dikenakan sanksi administratif oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal Perusahaan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan instruksi tertulis kepada Perusahaan untuk menghentikan sementara kegiatan operasional dari kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan dimaksud.
(5) Perusahaan wajib memenuhi instruksi tertulis Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Penghentian sementara kegiatan operasional Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sampai dengan Perusahaan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3).
Pasal 107
(1) Perusahaan wajib melaporkan setiap pembukaan kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) huruf a kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak kantor tersebut beroperasi.
(2) Pelaporan pembukaan kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan pembukaan kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan tercantum dalam Lampiran pada tabel XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 108
Perusahaan dilarang bekerja sama dengan Pihak lain dalam pengelolaan kantor kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) huruf a.
Bagian Ketiga
Pembukaan Kantor di Luar Kantor Pusat yang Tidak Memiliki Kewenangan untuk Membuat Keputusan mengenai Penerimaan dan Penolakan Pertanggungan/Kepesertaan dan Klaim
Pasal 109
(1) Perusahaan wajib mencantumkan setiap rencana pembukaan kantor di luar kantor pusat yang tidak memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) huruf b dalam rencana bisnis Perusahaan.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai rencana bisnis lembaga jasa keuangan nonbank.
Pasal 110
Pengelolaan kantor di luar kantor pusat yang tidak memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat
(2) huruf b, dapat dilaksanakan oleh Perusahaan atau dikerjasamakan dengan Pihak lain.
Bagian Keempat
Penutupan Kantor di Luar Kantor Pusat yang Memiliki Kewenangan untuk Membuat Keputusan mengenai Penerimaan dan Penolakan Pertanggungan/Kepesertaan dan Klaim
Pasal 111
(1) Perusahaan yang akan menutup kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) huruf a wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengenai:
a. rencana penutupan kantor di luar kantor pusat; dan
b. prosedur penyelesaian hak dan kewajiban.
(2) Prosedur penyelesaian hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dan memperhatikan kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
Pasal 112
(1) Perusahaan wajib melaporkan penutupan kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penutupan kantor di luar kantor pusat.
(2) Pelaporan penutupan kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) harus disampaikan Direksi bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan penutupan kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan untuk membuat keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan/kepesertaan dan/atau klaim tercantum dalam Lampiran pada tabel XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Bagian Kelima
Sanksi Administratif
Pasal 113
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1), ayat (5), Pasal 107 ayat (1), Pasal 108, Pasal 109 ayat (1), Pasal 111, dan/atau Pasal 112 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1), Pasal 112 ayat (1) dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(4) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Keenam
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama Perusahaan
Pasal 114
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB XIV
KEANGGOTAAN PADA ASOSIASI
Bagian Kesatu
Kewajiban Menjadi Anggota Asosiasi
Pasal 115
(1) Setiap Perusahaan wajib menjadi anggota salah satu Asosiasi yang sesuai dengan jenis usahanya.
(2) Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Asosiasi harus menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen permohonan persetujuan asosiasi tercantum dalam Lampiran pada tabel XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 116
(1) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(3) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Ketiga
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 117
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB XV
PENDAFTARAN AGEN ASURANSI
Bagian Kesatu
Kewajiban Pendaftaran Agen Asuransi
Pasal 118
(1) Agen Asuransi terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Agen Asuransi yang bekerja pada badan usaha.
(3) Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus setiap saat memenuhi ketentuan:
a. memiliki sertifikat keagenan dari LSP di bidang perasuransian yang masih berlaku;
b. memiliki perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi dan/atau Perusahaan Asuransi Syariah;
c. tidak sedang terikat perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi dan/atau Perusahaan Asuransi Syariah yang memiliki bidang usaha sejenis dan prinsip penyelenggaraan usaha yang sama;
d. tidak pernah dikenakan sanksi dari Asosiasi sesuai dengan bidang usahanya dalam kurun waktu 1 tahun terakhir; dan
e. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir.
(4) Dalam memenuhi kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Agen Asuransi harus menyampaikan permohonan pendaftaran melalui Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah kepada Asosiasi sesuai dengan bidang usahanya, bersama dengan daftar persyaratan dokumen permohonan pendaftaran agen asuransi tercantum dalam Lampiran pada tabel XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(5) Asosiasi melakukan verifikasi permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Dalam hal permohonan pendaftaran telah diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Asosiasi menyampaikan hasil verifikasi berupa daftar data calon Agen Asuransi yang telah memenuhi persyaratan dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(7) Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan oleh Asosiasi kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap bulan paling lama tanggal 10 (sepuluh).
(8) Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan bukti terdaftar berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diterima Otoritas Jasa Keuangan.
(9) Bukti terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (8), disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Asosiasi terkait.
(10) Dalam melaksanakan verifikasi pendaftaran Agen Asuransi, Asosiasi menyusun dan menetapkan mekanisme permohonan pendaftaran Agen Asuransi.
(11) Perusahaan dilarang mempekerjakan Agen Asuransi yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Kode Etik Agen Asuransi
Pasal 119
(1) Asosiasi menyusun kode etik bagi Agen Asuransi.
(2) Agen Asuransi wajib mematuhi kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
(3) Perusahaan wajib memastikan bahwa Agen Asuransi mematuhi kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
(4) Untuk menyelesaikan permasalahan keagenan, Asosiasi membentuk majelis kehormatan.
(5) Asosiasi menyampaikan laporan pelanggaran kode etik oleh Agen Asuransi kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Ketiga
Keberlanjutan Agen Asuransi
Pasal 120
(1) Agen Asuransi yang telah mendapatkan bukti terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (8) wajib mengikuti pendidikan atau pelatihan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Asosiasi, lembaga pendidikan atau lembaga pelatihan di bidang perasuransian paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Bukti terdaftar Agen Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (8) dapat dibatalkan dalam hal Agen Asuransi:
a. dinyatakan melanggar kode etik oleh Asosiasi yang bersangkutan;
b. melakukan perbuatan tercela di bidang jasa keuangan;
c. melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang keuangan;
d. tidak memenuhi persyaratan Agen Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (3);
e. tidak mengikuti pendidikan dan pelatihan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ; dan/atau
f. pengunduran diri secara sukarela.
(3) Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan pembatalan bukti terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan:
a. usulan Asosiasi; atau
b. penilaian Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal pembatalan bukti terdaftar agen asuransi diusulkan oleh Asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan pembatalan bukti tanda terdaftar paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak usulan diterima Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Pembatalan bukti terdaftar disampaikan kepada Asosiasi terkait.
Pasal 121
Otoritas Jasa Keuangan memiliki akses terhadap data Agen Asuransi yang dikelola oleh Asosiasi.
Bagian Keempat
Sanksi Adminsitratif
Pasal 122
(1) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (11), Pasal 119 ayat (2),
ayat (3), dan/atau Pasal 120 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(3) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Kelima
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 123
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB XVI
PERUBAHAN KEPEMILIKAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 124
(1) Setiap perubahan kepemilikan, Perusahaan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. perubahan komposisi saham;
b. Pengambilalihan;
c. penambahan pemegang saham baru; dan
d. perubahan status Perusahaan tertutup menjadi terbuka atau sebaliknya.
(3) Dalam hal Perusahaan terbuka memperdagangkan sahamnya di bursa efek, persetujuan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diperoleh dalam hal terdapat perubahan Pengendali.
(4) Rencana perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dimuat dalam rencana bisnis Perusahaan.
(5) Pemenuhan persyaratan terkait pencantuman rencana perubahan kepemilikan dalam rencana bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak berlaku bagi Perusahaan yang akan melakukan perubahan kepemilikan untuk memenuhi Ekuitas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan/atau target tingkat solvabilitas minimum sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan.
(6) Dalam hal perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakibatkan oleh adanya penambahan Modal Disetor, penambahan Modal Disetor dimaksud dilarang dilakukan selain dalam bentuk:
a. setoran tunai;
b. konversi/pengalihan saldo laba;
c. konversi/pengalihan pinjaman; dan/atau
d. saham bonus.
(7) Dalam kondisi tertentu, bentuk penambahan Modal Disetor dapat dilakukan melalui bentuk lain berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 125
(1) Perusahaan yang melakukan perubahan kepemilikan melalui Pengambilalihan wajib menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Modal Disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
(2) Kewajiban penyesuaian terhadap ketentuan mengenai Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan bagi Perusahaan yang akan melakukan:
a. perubahan kepemilikan melalui Pengambilalihan yang merupakan hasil warisan;
b. perubahan kepemilikan untuk pemenuhan Ekuitas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56;
c. perubahan kepemilikan dalam restrukturisasi grup Perusahaan; dan/atau
d. perubahan kepemilikan berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Penyesuaian dengan ketentuan mengenai Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan pada saat pelaksanaan perubahan kepemilikan.
Bagian Kedua Persetujuan Perubahan Kepemilikan
Pasal 126
(1) Dalam hal perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) mengakibatkan adanya Pengendali baru, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan kepada calon Pengendali.
(2) Untuk memperoleh persetujuan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1), calon pemegang saham atau yang setara melalui Direksi harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Permohonan persetujuan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan bersama dengan:
a. daftar persyaratan dokumen permohonan persetujuan perubahan kepemilikan tercantum dalam Lampiran pada tabel XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
b. permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama.
(4) Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah dan format permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan.
Pasal 127
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan persetujuan perubahan kepemilikan diterima secara lengkap.
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. analisis dan penelitian atas kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf a;
b. analisis kelayakan rencana perubahan kepemilikan;
c. penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon Pengendali, jika terdapat perubahan kepemilikan melalui Pengambilalihan; dan
d. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
(3) Untuk mendukung proses analisis terhadap kelayakan rencana perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Otoritas Jasa Keuangan berwenang memerintahkan Perusahaan menyampaikan dokumen pendukung selain dokumen yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf a.
(4) Direksi harus menyampaikan kelengkapan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen dari Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Dalam hal Perusahaan telah menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan belum menerima tanggapan atas permintaan kelengkapan dokumen dimaksud, Perusahaan dianggap membatalkan permohonan perubahan kepemilikan.
(7) Dalam hal permohonan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan surat persetujuan kepada Perusahaan.
(8) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan tersebut dilakukan secara tertulis dan disertai dengan alasan penolakan.
Pasal 128
(1) Dalam hal perubahan kepemilikan Perusahaan memerlukan persetujuan RUPS, Perusahaan yang telah memperoleh persetujuan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) dari Otoritas Jasa Keuangan, harus melaksanakan RUPS yang menyetujui perubahan kepemilikan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) telah terlampaui dan Perusahaan belum melaksanakan RUPS yang menyetujui perubahan kepemilikan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang membatalkan persetujuan perubahan kepemilikan yang sebelumnya telah diberikan.
Pasal 129
(1) Perusahaan wajib melaporkan pelaksanaan perubahan kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya bukti persetujuan dan/atau bukti surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang.
(2) Pelaporan perubahan pelaksanaan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan pelaksanaan perubahan kepemilikan tercantum dalam Lampiran pada tabel XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Bagian Ketiga
Sanksi Administratif
Pasal 130
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1), ayat (3), ayat (6), Pasal 125 ayat (1), ayat (3), dan/atau Pasal 129 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) dikenai sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (1) dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(5) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Keempat
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 131
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB XVII
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pelaporan Perubahan Anggaran Dasar
Pasal 132
(1) Perusahaan yang melakukan perubahan anggaran dasar tertentu wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal surat:
a. persetujuan;
b. pengesahan; atau
c. penerimaan pemberitahuan, dari instansi yang berwenang.
(2) Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. perubahan nama Perusahaan termasuk dalam hal terjadi Penggabungan atau Peleburan atas 2 (dua) Perusahaan atau lebih yang salah satunya memiliki Unit Syariah dan nama yang digunakan adalah nama Perusahaan yang tidak memiliki Unit Syariah;
b. perubahan tempat kedudukan kantor pusat Perusahaan dan/atau kantor pusat Unit Syariah;
c. penambahan Modal Disetor bagi Perusahaan yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas termasuk penambahan Modal Disetor pada Perusahaan terbuka yang memperdagangkan sahamnya di bursa efek dan tidak mengakibatkan perubahan Pengendali; dan/atau
d. perubahan anggaran dasar lainnya berdasarkan permintaan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pelaporan perubahan nama Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan perubahan nama Perusahaan tercantum dalam Lampiran pada tabel XVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(4) Pelaporan perubahan tempat kedudukan kantor pusat Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan perubahan tempat kedudukan kantor pusat Perusahaan tercantum dalam Lampiran pada tabel XVIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(5) Pelaporan penambahan Modal Disetor Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan penambahan Modal Disetor Perusahaan tercantum dalam Lampiran pada tabel XIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(6) Pelaporan perubahan anggaran dasar yang disebabkan adanya penambahan Modal Disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh Perusahaan dalam hal penambahan modal dimaksud tidak mengakibatkan terjadinya:
a. perubahan komposisi saham;
b. Pengambilalihan; dan/atau
c. penambahan pemegang saham baru.
Bagian Kedua
Pelaporan Perubahan Anggota Direksi, Anggota Dewan Komisaris, Anggota Dewan Pengawas Syariah dan Perubahan Nama Pemegang Saham
Pasal 133
(1) Perusahaan yang melakukan:
a. perubahan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau anggota DPS; dan/atau
b. perubahan nama pemegang saham,
wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal surat penerimaan pemberitahuan dari instansi yang berwenang.
(2) Bagi Perusahaan Asuransi Jiwa berbentuk usaha bersama yang melakukan perubahan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal:
a. akta penegasan pengangkatan bagi akta notaris yang didalamnya memuat syarat tangguh pengangkatan Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris; atau
b. akta notaris yang didalamnya tidak memuat syarat tangguh pengangkatan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris;
(3) Pelaporan perubahan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau anggota DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan perubahan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau anggota DPS Perusahaan tercantum dalam Lampiran pada tabel XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(4) Pelaporan perubahan nama pemegang saham Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan perubahan nama pemegang saham tercantum dalam Lampiran pada tabel XXI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Bagian Ketiga
Pelaporan Perubahan Alamat
Pasal 134
(1) Perusahaan wajib melaporkan perubahan alamat:
a. kantor pusat; dan/atau
b. kantor di luar kantor pusat yang memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) huruf a,
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal perubahan alamat.
(2) Pelaporan perubahan alamat kantor pusat dan kantor di luar kantor pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan daftar persyaratan dokumen pelaporan perubahan alamat kantor dan kantor di luar kantor pusat tercantum dalam Lampiran pada tabel XXII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Bagian Keempat
Pelaporan Penambahan Modal Kerja Unit Syariah
Pasal 135
(1) Perusahaan wajib melaporkan penambahan modal kerja Unit Syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penambahan modal kerja.
(2) Pelaporan penambahan modal kerja bagi Unit Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan salinan bukti penempatan modal kerja pada rekening Unit Syariah yang dilegalisasi oleh bank.
Bagian Kelima
Sanksi Administratif
Pasal 136
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1), Pasal 133 ayat (1), ayat (2), Pasal 134 ayat (1), dan/atau Pasal 135 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1), Pasal 133 ayat (1),
ayat (2), Pasal 134 ayat (1), Pasal 135 ayat (1) dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(4) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Keenam
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 137
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB XVIII
KERJA SAMA DALAM SATU KEPEMILIKAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 138
(1) Perusahaan dapat melakukan kerja sama dengan Perusahaan lain yang memiliki hubungan kepemilikan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Perusahaan yang memenuhi kondisi:
a. Perusahaan merupakan PSP dari Perusahaan lain;
b. Perusahaan dimiliki oleh PSP atau Pengendali yang sama; atau
c. Perusahaan tergabung dalam 1 (satu) KUPA.
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk:
a. permodalan; dan
b. manajemen Perusahaan, yang meliputi:
1. Direksi;
2. Dewan Komisaris;
3. Tenaga Ahli;
4. Aktuaris bagi Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah;
5. komite yang diwajibkan dibentuk oleh Perusahaan; dan
6. Pejabat Eksekutif.
(4) Pihak independen yang menjadi anggota komite pada Perusahaan dalam 1 (satu) kepemilikan dapat merangkap jabatan sebagai pihak independen yang menjadi anggota komite sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 5 pada Perusahaan lain dalam satu kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan beralihnya tanggung jawab dan risiko dari 1 (satu) Perusahaan kepada Perusahaan lain.
Pasal 139
Dalam hal Perusahaan melakukan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) dalam bentuk penggunaan jaringan kantor Perusahaan pada alamat yang sama, Perusahaan harus memenuhi persyaratan:
a. terdapat pemisahan antara kantor Perusahaan dan kantor Perusahaan lain; dan
b. tidak menimbulkan risiko operasional dan risiko reputasi bagi masing-masing Perusahaan.
Pasal 140
(1) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) dilakukan dengan perjanjian kerja sama secara tertulis.
(2) Perjanjian kerja sama secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup paling sedikit:
a. tujuan dan ruang lingkup perjanjian kerja sama;
b. jangka waktu perjanjian kerja sama; dan
c. hak dan kewajiban masing-masing pihak paling sedikit:
1. rencana alih pengetahuan jika kerja sama bisnis melibatkan sumber daya manusia Perusahaan;
2. kewajiban untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan informasi Perusahaan serta pemegang polis, tertanggung, atau peserta Perusahaan;
3. tanggung jawab atas kerugian; dan
4. penanganan pengaduan pemegang polis, tertanggung, atau peserta jika kerja sama bisnis berhubungan dengan pemegang polis, tertanggung, atau peserta Perusahaan.
(3) Perusahaan harus melaksanakan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) sesuai dengan perjanjian kerja sama yang telah dibuat.
Bagian Kedua
Persetujuan Kerja Sama
Pasal 141
(1) Perusahaan yang melakukan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan kerja sama dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal terdapat perubahan perjanjian kerja sama, Perusahaan yang bekerja sama wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan perubahan perjanjian kerja sama dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Untuk memperoleh persetujuan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau perubahan perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari Otoritas Jasa Keuangan, Perusahaan yang bekerja sama harus terlebih dahulu mencantumkan rencana kerja sama dalam rencana bisnis Perusahaan.
(4) Perusahaan yang menjadi PSP dari Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) huruf a, Perusahaan Induk, atau pelaksana Perusahaan Induk dari Perusahaan yang tergabung dalam 1 (satu) KUPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) huruf c menyampaikan permohonan:
a. persetujuan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
b. perubahan perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan kepada Perusahaan lain yang mengikatkan diri dalam perjanjian kerja sama.
(5) Dalam hal kerja sama dilakukan oleh Perusahaan yang memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
138 ayat (2) huruf b yang tidak menjadi bagian dari KUPA, permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan oleh salah satu Perusahaan.
(6) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan disertai daftar persyaratan dokumen permohonan persetujuan kerja sama dalam hubungan kepemilikan tercantum dalam Lampiran pada tabel XXIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(7) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diajukan paling lama 60 (enam puluh) hari sebelum pelaksanaan kerja sama.
Pasal 142
(1) Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (6) paling lama 60 (enam puluh) hari setelah seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen persyaratan permohonan diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal diperlukan tambahan cakupan perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (2), dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (6), dan/atau penjelasan berkenaan dengan penelaahan permohonan persetujuan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, batas waktu 60 (enam puluh) hari dihitung sejak Perusahaan melengkapi perjanjian kerja sama, dokumen persyaratan, dan/atau memberikan penjelasan yang diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Perusahaan yang melakukan kerja sama.
(4) Dalam hal terdapat perubahan perjanjian kerja sama, Perusahaan wajib menyampaikan perubahan perjanjian kerja sama kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak perubahan perjanjian kerja sama.
Pasal 143
(1) Perusahaan harus melaksanakan kerja sama paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan belum melaksanakan kerja sama, persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan yang telah diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) dan ayat (2), dinyatakan batal dan menjadi tidak berlaku.
Bagian Ketiga
Pelaporan dan Penghentian Kerja Sama
Pasal 144
Perusahaan yang melaksanakan kerja sama wajib mencantumkan laporan realisasi pelaksanaan kerja sama dalam laporan realisasi rencana bisnis masing-masing Perusahaan dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 145
(1) Perusahaan dapat melakukan penghentian kerja sama dalam hubungan kepemilikan sebelum jangka waktu kerja sama berakhir.
(2) Perusahaan wajib melaporkan setiap rencana penghentian kerja sama kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan kepada Perusahaan lainnya, disertai dengan persyaratan dokumen pelaporan penghentian kerja sama dalam hubungan kepemilikan tercantum dalam Lampiran pada tabel
XXIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Laporan rencana penghentian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan penghentian kerja sama.
Bagian Keempat
Sanksi Administratif
Pasal 146
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1), ayat (2), Pasal 142
ayat (4), Pasal 144, dan/atau Pasal 145 ayat (2), ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) dan/atau ayat (2), dikenai sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(5) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Kelima
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 147
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB XIX
PENYAMPAIAN PERMOHONAN PERIZINAN, PERSETUJUAN, DAN PELAPORAN SECARA ELEKTRONIK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 148
(1) Permohonan perizinan, persetujuan, atau pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (2), Pasal 29 ayat (2), Pasal 31 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 39 ayat (3), Pasal 40 ayat (3), Pasal 42 ayat (2), Pasal 44 ayat (2), Pasal 46 ayat (2), Pasal 48 ayat (2), Pasal 67 ayat (2), Pasal 68 ayat (2), Pasal 69 ayat (2), Pasal 70 ayat (1), Pasal 82 ayat (3), Pasal 83 ayat (2), Pasal 102 ayat (2), Pasal 107 ayat (2), Pasal 112 ayat (2), Pasal 115 ayat (3), Pasal 126 ayat (3), Pasal 127 ayat (4), Pasal 129 ayat (2), Pasal 132 ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 133 ayat (3), ayat (4), Pasal 134 ayat (2), Pasal 135 ayat (2), Pasal 141 ayat (6), dan/atau 142 ayat (2), harus disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara elektronik melalui sistem jaringan komunikasi data Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dengan penyampaian permohonan perizinan, persetujuan, dan pelaporan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan tidak perlu menyampaikan dokumen cetak.
(3) Perusahaan wajib menyimpan dokumen cetak atas kelengkapan dokumen perizinan, persetujuan, dan pelaporan yang telah disampaikan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Perusahaan wajib mempertanggungjawabkan kebenaran dan kesesuaian setiap dokumen yang disampaikan secara elektronik dengan dokumen cetak yang dimiliki oleh Perusahaan.
(5) Dalam hal dibutuhkan, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan verifikasi dan/atau validasi atas kebenaran dan kewajaran dokumen cetak permohonan perizinan, persetujuan, dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah disampaikan oleh Perusahaan secara elektronik.
(6) Perusahaan wajib menyediakan dokumen cetak permohonan perizinan, persetujuan, dan pelaporan, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah disampaikan oleh Perusahaan secara elektronik pada saat pelaksanaan verifikasi dan/atau validasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Seluruh dokumen yang disampaikan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang dipersamakan dengan dokumen cetak.
(8) Dalam hal sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengalami gangguan teknis, penyampaian permohonan perizinan, persetujuan, atau pelaporan, disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara luring.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan perizinan, persetujuan, dan pelaporan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 149
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (3), ayat (4), dan/atau ayat (6) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan/atau
b. penurunan tingkat kesehatan.
(2) Dalam hal terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran telah diperbaiki, Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi peringatan tertulis yang berakhir dengan sendirinya.
(3) Dalam hal pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan tertulis.
Bagian Ketiga
Penilaian Kembali terhadap Pihak Utama
Pasal 150
Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan.
BAB XX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 151
Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memberikan persetujuan atau kebijakan yang berbeda dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 152
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, permohonan persetujuan yang telah diterima dan belum memperoleh persetujuan atau penolakan dari Otoritas Jasa Keuangan, diproses sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
Pasal 153
Pada saat program penjaminan polis berlaku, ketentuan mengenai persyaratan untuk melampirkan laporan awal Dana Jaminan beserta bukti penempatan Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 hanya berlaku bagi:
a. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta program penjaminan polis; atau
b. Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah yang akan mengajukan izin usaha.
Pasal 154
(1) Agen Asuransi yang memiliki tanda terdaftar yang masih berlaku dan tercantum dalam daftar dari Asosiasi sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan harus melakukan pendaftaran ulang kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), asosiasi harus menyampaikan daftar Agen Asuransi yang masih memiliki tanda terdaftar yang berlaku dari asosiasi dan aktif sebagai Agen Asuransi pada Perusahaan, kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan.
Pasal 155
Badan usaha Agen Asuransi yang telah mendapatkan izin usaha atau surat tanda terdaftar sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan tetap dapat menjalankan usahanya.
Pasal 156
Kewajiban penyesuaian rangkap jabatan bagi Perusahaan yang memiliki anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
dan/atau anggota DPS yang masih merangkap jabatan atau pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79, diselesaikan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku.
Pasal 157
Kewajiban penyesuaian rangkap jabatan bagi Perusahaan yang memiliki Tenaga Ahli yang masih merangkap jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota DPS, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (5), ayat (6), Pasal 89 ayat (5), ayat (6), Pasal 90 ayat (5), ayat
(6) , dan/atau Pasal 91 ayat (3), ayat (4), diselesaikan paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku.
Pasal 158
(1) Pelanggaran atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 300, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5990) yang diketahui pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 300, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5990).
(2) Perusahaan yang dikenai sanksi administratif berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 300, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5990) dan belum dapat memperbaiki pelanggaran, dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 159
(1) Pelanggaran atas ketentuan mengenai rangkap jabatan anggota Direksi, Dewan Komisaris dan/atau DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), ayat (2),
Pasal 23, Pasal 33, dan/atau Pasal 41 ayat (1), ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 306, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5996) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 43/POJK.05/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 271, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6450), yang diketahui pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 306, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5996) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 43/POJK.05/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 271, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6450);
(2) Perusahaan yang dikenai sanksi administratif berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 306, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5996) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 43/POJK.05/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 271, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6450) dan belum dapat memperbaiki pelanggaran, dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 160
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai:
a. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 300, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5990); dan
b. ketentuan mengenai rangkap jabatan anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23, Pasal 33, Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 306, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5996) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 43/POJK.05/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 271, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6450), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 161
Ketentuan mengenai Ekuitas minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 304, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5994) sebagaimana diubah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 8/OJK, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 33/OJK), dan Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 72/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 305, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5995) sebagaimana diubah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 72/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 9/OJK, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 34/OJK), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 31 Desember 2026.
Pasal 162
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2023
KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
MAHENDRA SIREGAR