Masih hangat di ingatan kita beberapa hari yang lalu diberitakan salah satu platform pinjaman online (pinjol) diduga menagih hutang hingga membuat seorang nasabah mengakhiri hidupnya. Ada berbagai alasan seseorang memutuskan berhutang dan pinjol adalah sarana termudah dan tercepat untuk mendapatkan pinjaman.
Tingkat bunga yang dipasarkan pinjol kadang tampak menggiurkan. Dikutip dari Bisnis, rata-rata bunga pinjol adalah 0,4 persen perhari. Nilai ini terbilang rendah. Sayangnya, pinjol tidak merincikan secara detail besaramn bunga untuk bulanan.
Biaya layanan juga menjadi polemik. Bahkan, ekonom menyebut ada ruang kosong regulasi karena masalah biaya layanan yang tidak diatur eksplisit.
Teranyar, jagat media sosial dihebohkan dengan tangkapan layar yang memperlihatkan rincian biaya pinjaman yang diduga milik nasabah AdaKami. Dari rincian tersebut, warganet memiliki jumlah pinjaman Rp3,7 juta dengan tenor 9 bulan.
Adapun biaya yang harus dibayar mencapai Rp7,46 juta atau lebih dari 100 persen pokok pinjamannya. Dengan rincian pinjaman pokok Rp3,7 juta, biaya layanan Rp3,42 juta, bunga Rp187.460 dan PPN Rp159.178.
Menurut Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara, sepatutnya besaran bunga pinjol disajikan secara bulanan atau tahunan, bukan harian. Sebab, sejumlah pinjol hanya mengiklankan pinjaman dengan bunga rendah yang hanya 0,4 persen saja per hari.
Karena seolah per hari 0,4 persen rendah, tapi diakumulasi per tahun 176 persen jauh melebihi bunga KTA [kredit tanpa agunan] bank 10 persen–25 persen per tahun.
Biaya layanan pun menjadi sorotan karena terlampau tinggi dan tidak wajar jika dibebankan ke peminjam. Pihak fintech selalu beralasan jika biaya layanan tersebut termasuk biaya asuransi kredit.
Bhima menjelaskan bahwa asuransi bertujuan mengganti sebagian pinjaman macet untuk melindungi pemilik dana. Artinya, asuransi tidak dibebankan kepada peminjam. Menurut Bhima, polemik ini terjadi karena adanya ruang kosong regulasi. “Ada ruang kosong regulasi karena masalah biaya layanan tidak diatur eksplisit dalam POJK,” ungkap Bhima.
Pengamat Asuransi Wahyudin Rahman mengatakan besaran premi asuransi kredit atau penjaminan P2P lending mengacu pada kemungkinan gagal bayar dari borrower.
Dia menjelaskan, jika riwayat kredit macet (non-performing loan/NPL) atau tingkat keberhasilan bayar 90 hari (TKB90) dan manajemen risiko yang dilakukan penyelenggara fintech P2P lending bagus, maka tarif premi asuransi bisa rendah. Begitu pun sebaliknya. Besaran premi juga tergantung pada jenis pinjaman dan tenor.
“Saat ini kondisi masih hardening market pasca pandemi Covid-19, jadi tarif premi mencapai kisaran 3 persen–7 persen dari limit atau plafon pertahun yang dibayarkan secara lumpsum di muka. Jadi tidak benar jika bunga P2P lending tinggi didominasi oleh biaya asuransi,” jelasnya.
Di sisi lain, jika bunga dianggap tinggi oleh borrower, Wahyudin mengatakan bahwa hal itu bisa diatasi dengan seleksi risiko yang prudent oleh platform P2P lending untuk menentukan calon borrower layak didanai atau tidak.
Menurutnya, analisis risiko terhadap calon borrower harus bagus sehingga kemungkinan mengalami gagal bayar kecil. Sehingga, dampak biaya mitigasi risiko juga akan kecil.
“Asuransi itu hanya back-up. Jangan asuransi diletakkan di depan yang kemudian menjadikan seleksi risiko sehingga tidak prudent,” jelasnya.