Peter Lake, seorang penasihat keuangan yang telah pensiun dan peternak di wilayah Northern Rivers, New South Wales, baru-baru ini menjual perusahaan broker yang dia miliki bersama.
Selama beberapa dekade, Lake telah menjadi pendukung aktif asuransi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ia memutuskan untuk tidak mengasuransikan sebagian besar lahannya. “Kami tinggal di dataran banjir di Sungai Coldstream,” kata Lake. “Kami telah mengalami banyak banjir kecil dan banjir besar pada tahun 2009, 2011, 2013, 2021, dan Februari 2022.”
Lake selalu memiliki asuransi banjir karena secara alami termasuk dalam polis properti. Pada tahun 2019, premi untuk pertanian — termasuk empat gudang, rumah dan isinya, traktor, motor quad, mobil, pakan ternak, dan tanggung jawab hukum — mencapai lebih dari A$10.000 (sekitar Rp100 juta). Namun, pada tahun 2023, paket yang sama mencapai hampir A$20.000 (sekitar Rp200 juta).
“Saya selalu percaya pada asuransi, tetapi pada tahun 2023 kami memutuskan hanya akan mengasuransikan rumah tanpa isinya, dan hanya satu gudang plus tanggung jawab pertanian. Itu sendiri mencapai sekitar A$6.000 (sekitar Rp60 juta).”
Penilaian Risiko Iklim Nasional pertama yang dirilis pada Maret tahun ini, bertujuan membantu pemerintah, industri, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mempersiapkan, beradaptasi, dan mengurangi risiko dari kondisi iklim yang semakin menantang.
Ini sangat relevan bagi mereka di sektor asuransi yang sudah berada di bawah tekanan untuk menyediakan solusi yang lebih baik bagi mereka yang terkena dampak peristiwa cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi. Banjir baru-baru ini di wilayah Illawarra, New South Wales, adalah contoh tantangan ini, dengan banyak penduduk dan pemilik bisnis yang tidak mampu membayar premi asuransi yang melonjak atau tidak dapat menemukan perlindungan.
Insurance Council of Australia (ICA) mengakui bahwa perubahan iklim memperburuk cuaca ekstrem di Australia. “Sejak kebakaran hutan Black Summer 2019-20, Australia telah menghadapi banyak bencana, dengan kerugian asuransi lebih dari A$13 miliar (sekitar Rp130 triliun),” kata seorang juru bicara ICA.
Pada tahun 2022 saja, terdapat lebih dari 300.000 klaim terkait bencana dari empat peristiwa asuransi yang dideklarasikan di seluruh negara, dengan kerugian asuransi sebesar A$7,28 miliar (sekitar Rp72,8 triliun). Laporan Insurance Catastrophe Resilience 2022-23 dari ICA menyebutkan bahwa keterjangkauan asuransi adalah “kekhawatiran utama industri asuransi.”
Untuk mengurangi tekanan premi, ICA merekomendasikan peningkatan investasi dalam pendanaan ketahanan dan mitigasi, pencegahan pembangunan baru di lokasi berisiko tinggi, pembelian kembali rumah yang ada di mana risiko tidak dapat dimitigasi, perubahan kode bangunan, dan perluasan program ketahanan tingkat rumah tangga, seperti peninggian rumah dan perbaikan. Reformasi pajak negara bagian yang meningkatkan biaya asuransi juga perlu dipertimbangkan.
Lake menyadari bahwa beberapa jenis perlindungan asuransi kini tidak lagi terjangkau. “Jika sesuatu terjadi, seperti salah satu gudang saya terbakar atau hancur dalam siklon, saya harus menerima kenyataan bahwa saya telah membuat keputusan ini dengan sadar,” katanya.
“Jika terjadi peristiwa besar, semua orang akan terkena dampaknya, karena itu berarti saya harus menggunakan semua modal saya dan kemudian saya akan hidup dengan pensiun usia. Itu bukan di mana saya ingin berada dan itu tidak baik untuk ekonomi.”
Pengalaman Lake mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak orang di Australia dalam mencari keseimbangan antara biaya asuransi dan perlindungan yang memadai di tengah meningkatnya risiko iklim.
Artikel ini ditulis oleh Chris Sheedy dan dialihbahasakan dari ANZIIF