Salah satu sumber keuntungan perusahaan asuransi adalah instrumen investasi, baik saham maupun reksadana. Berita CNBC Indonesia 21 Maret 2023 cukup mengejutkan bagi saya karena beberapa perusahaan asuransi tumbang juga karena instrumen investasi ini. Mereka tumbang karena memelihara ‘saham gorengan’.
Saham gorengan dapat diartikan sebagai saham perusahaan yang kenaikannya di luar kebiasaan karena pergerakannya sedang direkayasa oleh pelaku pasar dengan tujuan kepentingan tertentu.
Permasalahan ‘saham gorengan’ di portofolio perusahaan asuransi menjadi isu hangat akhir-akhir ini. Koleksi saham berlikuiditas rendah tersebut kerap disebut menjadi penyebab kasus gagal bayar asuransi.
Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Kholilul mengakui, penempatan dana asuransi di ‘saham gorengan’ memang sangat menarik. Mengingat sebagai investor pasti mengharapkan ‘shortfall’ atau return banyak dalam waktu singkat.
Namun, Ibrahim mengatakan, industri asuransi juga perlu belajar dari kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB) yang baru-baru ini, bahwa jangan sekali-kali menaruh seluruh aset dalam satu instrumen saja. Karena jika kolaps, seluruh likuidasi bisa terganggu.
“Jadi menurut saya, kita harus ikut juga dengan persyaratan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dana asuransi ini ada porsinya, masuknya berapa persen ke obligasi, berapa persen ke saham, berapa persen ke yang lainnya. Saya rasa itu dapat membantu agar bisnis kita lebih sustainable,” tuturnya.
Hal ini disampaikan oleh Ibrahim saat sesi tanya jawab pada diskusi bertajuk “Outlook Industri Asuransi 2023” bersama sejumlah media di Kantor Pusat IFG, Gedung Graha Niaga, Jakarta, pada Selasa (21/03/23).
Untuk mengantisipasi risiko tersebut, IFG Life telah mempersiapkan strategi tersendiri. Tools tersebut dinamakan liability driven investment. Dalam instrumen ini, perusahaan asuransi mengalokasikan dana investasinya ke dalam dua tahapan aset.
Tahapan pertama adalah, perusahaan asuransi harus memastikan bahwa aset investasi yang dipegang sudah menyokong cadangan liabilitas. Baru, pada tahap selanjutnya, perusahaan asuransi boleh mencari surplus aset dari instrumen investasi yang lebih beresiko.
Sebagai informasi, penggunaan saham gorengan yang berujung pada kolapsnya asuransi terjadi di kasus Jiwasraya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kerugian negara oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sebesar Rp 10,4 triliun karena ‘menggoreng’ saham investasi.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan perusahaan pelat merah tersebut menanamkan dana hasil penjualan produk JS Saving Plan pada saham dan reksa dana berkualitas rendah.
Menurutnya, saham-saham tersebut antara lain adalah IIKP, SMRU, SMBR, PPRO, TRAM, MYRX, dan lain-lain. Indikasi kerugian sementara akibat transaksi tersebut diperkirakan sekitar Rp 4 triliun.